Tujuan: Dalam menilai status gizi usia lanjut (lansia) seringkali ditemukan kesulitan pengukuran tinggi badan (TB) akibat kelainan tulang belakang dan mobilitas. Salah satu alternatifnya menggunakan nilai prediksi dari panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk. Beberapa persamaan ketiga prediktor tersebut telah dikembangkan untuk memperkirakan TB lansia Indonesia. Persamaan yang tertuang dalam kartu Penilaian Status Gizi (PSG) lansia ini dan merupakan teknologi pertama di Indonesia, harus diujicobakan lebih dahulu sebelum diterapkan di masyarakat. Tujuan studi adalah untuk melakukan verifikasi model TB prediksi dalam kartu PSG dengan TB sebenarnya. Metode: Disain cross sectional melalui pengukuran antropometri pada 400 lansia sehat di Jakarta telah dilakukan. Studi ini merupakan studi validasi kedua, selain studi pertama yang telah dilakukan di Kota Depok mewakili wilayah semi urban. Hasil: Lansia laki-laki memiliki rata-rata usia, TB, berat badan, panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk lebih tinggi dibandingkan lansia perempuan. Korelasi terbesar ditemukan pada prediktor tinggi lutut dengan nilai yang sama pada lansia perempuan (r = 0.80; P < 0.001) dan laki-laki (r = 0.78; P < 0.001), selanjutnya panjang depa, dan tinggi duduk. Tinggi lutut memiliki selisih paling rendah dengan tinggi badan sebenarnya pada laki-laki (3,13 cm) dan perempuan (2,79 cm). Tinggi lutut mempunyai nilai sensitivitas tertinggi (92,2%) dan nilai spesifisitas terbesar pada tinggi duduk (91,2%). Kesimpulan: Persamaan TB prediksi berdasarkan panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk dapat digunakan dalam menilai status gizi lansia Indonesia.
AbstractAim: In an anthropometric assessment, elderly are frequently unable to measure their height due to mobility and skeletal deformities. An alternative is to use a surrogate value of stature from arm span, knee height, and sitting height. The equations developed for predicting height in Indonesian elderly using these three predictors. The equations put in the nutritional assessment card (NSA) of older people. Before the card which is the first new technology in Indonesia will be applied in the community, it should be tested. The study aimed was to conduct diagnostic test of predicted height model in the card compared to actual height. Methods: Model validation towards 400 healthy elderly conducted in Jakarta City with cross-sectional design. The study was the second validation test of the model besides Depok City representing semi urban area which was undertaken as the first study. Result: Male elderly had higher mean age, height, weight, arm span, knee height, and sitting height as compared to female elderly. The highest correlation between knee height and standing height was similar in women (r = 0.80; P < 0.001) and men (r = 0.78; P < 0.001), and followed by arm span and sitting height. Knee height had the lowest difference with standing height in men (3.13 cm) and women (2.79 cm). Knee height had the biggest sensitivity (92.2%), and the highest specificity on sitting height (91.2%). Conclusion: Stature prediction equation based on knee-height, arm span, and sitting height are applicable for nutritional status assessment in Indonesian elderly.