Tradisi sifon dilakukan saat Iuka sunat belum benar-benar sembuh, dan rentan terhadap pcnularan PMS termasuk HIV/AIDS. Tradisi ini mulai berkembang di Kota Kupang dan diiakukan oleh pemuda-pemuda suku lain diluar suku Atoin-Melo. Untuk itu perlu diketahui apa yang mendorong pelaku sunat untuk melakukan swan dan bagaimana persepsi terhadap penularan PMS. Penelitian dilakukan di Kota Kupang dengan menggunakan pcndekaian kualitatif dengan disain RAP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi terhadap kcrentanan penularan PMS masih kurang dan motivasi untuk kejantanan, kebersihan, dan kcsehatan merupakan ii-:ktor yang mcndorong informan melalcukan sunat tmdisional syfon. Penelitian ini menyarankan untuk dilakukan kegiatan untuk meningkatkan pemahaman tentang bahaya penularan PMS dan perlunya melakukan sunat yang sehat.
Sifon tradition was done when the post circumcision injm'y not yet healed thus it was very susceptible of sexual transmitted diseases including HIV/AIDS. The tradition staned to develop in Kupang and done by male youth who were not Atoin-Metto tribe. Thus it was necessary to find out what the reinforcing factors of doing sifon and how is the perception of STD infection. This quantitative research was done in Kupang with RAP design. The result showed tha there was still lack of perceived susceptibility of STD. Issues of masculinity, cleanliness and health were become reinforcing factors toward informants in doing sifon traditional circumcision.