ABSTRAKSemburan lumpur lapindo yang masih menyembur hingga sekarang menyisakan banyak persoalan dari persoalan hukum, sosial, politik, kesejahteraan masyarakat dan sebagainya. Tulisan ini mengupas bagaimana formulasi kebijakan nasional untuk penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo serta implementasinya. Seperti diketahui semburan lumpur lapindo di Sidoaljo direspon oleh pemerintah pusat dengan langkah awal mengeluarkan produk hukum berupa Keputusan Presiden Nomor I3 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan semburan lumpur di Sidoarjo, yang bersifat mengatur terutama poin 5 (lima) dan poin 6 (enam) serta isinya menekankan bahwa pihak korporat/LBI tidak bisa lari dari tanggung jawab. Langkah kedua pemerintah adalah mengeluarkan Perpres No. 14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur Sidoarja. Dari sinilah gelagat inkonsistensi pemerintah mulai terlihat, dengan keberpihakannya kepada pihak korporat/LBI, khususnya Pasal 15. Tidak produk hukum atau kebijakan Prepres ini saja, hal pendegradasian tanggungjawab atau pengalihan tanggung jawab ke beban biaya APBN atau negara terus berlanjut, yakni dengan terbitnya Perpres 40 tahun 2008 tentang. Perbaikan atas Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2007 tentang badan penangulangan Iumpur sidoarjo, pasal 15 lagi ditambah lagi dengan terbitnya Perpres No. 48 tahun 2009 tentang perbaikan kedua atas Peraturan Presiden No.14 tahun 2007 tentang badan penanggulangan lumpur sidoarjo. Menurut Perpres yang terakhir ini habis semua tanggung jawab korporat dan beralih ke negara atau pembiayaannya ?pindah? ke APBN. Dalam tinjauan pustaka disebutkan bahwa ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa ada suatu ruang atau domain dalam kehidupan yang bukan privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Publik itu sendiri berisi aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama (Wayne P:2005). Artinya seharusnya pemerintah pusat korporat, dan warga korban lumpur Lapindo duduk bersama, yang dimakmd disini adalah kebijakan-kebijakan nasional bukan ruang privat namun ruang publik. Tapi dalam prakteknya kebijakan-kebijakan nasional untuk menanggulangi semburan lumpur lapindo, yakni bempa produk hukum serangkaian Perpres tidak melibatkan warga atau masukan masyarakat secara komprehensif.
ABSTRACT
The ongoing lapindo mudflow has spewed social, political, public welfare, legal and other problems in its path. This thesis will unravel how the government formulate and implement its national policy to resolve the mudflow in Sidoarjo, East Java. Initially, the government responded by issuing the presidential decree no.13/2006 on the establishment of a National Team to Mitigate Sidoarjo Mudfllow. The deoree stipulates in its point five and six that the corporation, in this case PT. Lapindo Brantas Inc. (Lapindo), must be held accountable for the tragedy. Secondly, the government issued another presidential decree no.14/2007 on the establishment of the Sidoarjo Mud Mitigation Agency (BPLS). The letter decree showed the government's inconsistency by siding with the corporation, Lapindo, as reflected in point 15 of the decree. These legal products are not the only means that the government used to outmaneuvered its responsibility. Such action is also reflected in two other decrees that transferred damage claims from Lapindo to the state budget. The decrees are presidential decree no.40/2008, which revised the presidential decree on BPLS; and presidential decree no.48/2009, which is the second revision to the decree on BPLS. The literature review of this thesis also mentioned that the idea of public policy contains the perception that there is a space, a domain in life which is not private nor purely belong to individuals, but belongs to everyone collectively or to the public. The public it self comprises of human activities that needed to berr regulated or intervened by the government, social regulation, or a collective action (Wayner P:2005). That means the central government is a public domain, not a private domain. However, in practice, the decrees as legal products often do not involved a comprehensive input from the people and surrounding society.