Selama ini isu kesehatan mental ditujukan kepada masyarakat umum diluar para praktisi kesehatan mental itu sendin, sepeni psikolog klinis, psikiater, konselor, dokter, dan pekerja kemanusiaan. Sudah saatnya masalah kesehatan mental juga berfokus pada para praktisi itu sendiri. Pekerjaan yang membutuhkan perhatian (empali) terhadap rnasalah-masalah yang dialami klien ternyata menimbulkan suatu resiko tertentu. Dari hasil penelitian Urquiza dkk (1997), efek dan kegiatan mewawancara, misalnya antara terapis dan kiien misalnya dengan materi wawancara tertentu, bisa menimbulkan stres yang termanifestasi da1am berbagai perilaku terapis. Misalnya enggan bertemu dengan klien, kurang kontak mata, mengalami keielahan, kekurangan tidur, menarik diri, ingin menangis mudah marah, sehingga kemudian mengganggu hubungan dengan teman kerja dan keluarga serta performa kerja.
Penelilian Stamm dan Figley (1997) pada terapis yang menangani klien yang mengalami trauma juga mendukung hal itu. Menurut mereka dalam menangani klien trauma,seorang terapis juga bisa mengalami simtom-simtom yang hampir sama dengan yang dialami oleh kliennya. Karena simtom di dapat secara sekunder melalui paparan oerila Idien yang mengaiami trauma, make fenomena tersebut dinamakan Secondary Traumatic Stress.
Mengingat pentingnya isu tersebut, dibuatlah sebuah alat asesmen yang dimaksudkan untuk mengukur tingkat bumout dan compassion fatigue - istllah yang diajukan oleh Stamm dan Figley untuk kelehahan emosi dan fisik akibat pekerjaan yang memberikan perhatian (empati) - pada para pekerja kemanusian, praktisi kesehatan mental umumnya. Selain itu, dua aspek yang diukur diatas,juga untuk mengetahui tingkat compassion satisfaction (kepuasan kerja) selama menangani klien Alat ini digunakan untuk mengetahui keadaan kesehatan mental para pekerja kemanusiaan selama kurun waktu tertentu dan bersifat self administered, untuk dapat digunakan sebagai feedback apakah seseorang memerlukan bantuan konseling atau tidak untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan sebagai akibat dari pekerjaan membantu klien.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti merasa perlu untuk melakukan adaptasi alat yang disebut Professional QuaIity of Life: Compassion Fatigue & Satisfaction Subscale RIII (Pro-QOL) tersebut untuk kepentingan para praklisi kesehatan mental di Indonesia. Peneliti menggunakan sampel populasi Mahasiswa Magister ProfesiK1inis Dewasa Fakultas Psikologi UI Angkatan 2002, dengan alasan mereka juga melakukan pekerjaan kesehatan mental dalam menangani sebelas kasus klien di berbagai institusi Peneiitian ini diolah dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.
Hasil berupa skor para subyek tersebut yang diperoleh dari alat tes Pro-QOL yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, disesuaikan dengan populasi dan sudah mendapat pertimbangan dari expert judgement. Selain skor, para subyek membenarkan komentar mengenai alat tes itu secara teknis sehingga diperoleh masukan mengenai kelebihan dan kelemahan dari alat tes tersebut dari sisi e!emen-elemen tes (instruksi, penyusunan kalimat dan ukuran respon reaksi). Selanjutnya, dilakukan wawancara terhadap beberapa subyek, berkenaan dengan pengalaman-pengalaman para subyek yang berhubungan dengan pemyataan-pemyataan dalam alat tes untuk mendapat informasi yang lebih kaya mengenai pengalaman subyek tentang pekerjaan yang telah dilakukan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dari 23 subyek, 10 subyek potensial mengalami compassion satisiaction, Kemudian 8 subyek Iainnya diluar 10 orang diatas, beresiko mengalami bumout. Artinya, secara akumulatif, kedelapan subyek tersebut karena muatan kerja secara kese|uruhan mereka mengalami kelelahan Termasuk di dalam 8 orang tersebut, 3 orang juga sekaligus beresiko mengaiami compassion fatigue. Artinya, selain mengalami keielahan yang diakibatkan oleh pekerjaan secara keseluruhan, pada kasus-kasus tertentu mereka juga mengalami pengalaman yang menunjukkan bahwa mereka mengalami kelelahan karena mated dan kasus yang bersangkutan. Sedangkan yang beresiko mengalami compassion faiigue saja, tanpa mengalami resiko burnout hanya 1 orang. Dan hasil ini, maka disarankan agar ada sutu program yang kontinu, misalnya konseling atau support group bagi para mahasiswa yang sedang menjaiani program pendidikan Psikologi Klinis untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka alami seiama bekerja. Sedangkan untuk aiat tes itu sendiri secara teknis masih memeriukan penyempumaan dalam penyusunan kalimat dan ukuran respon yang sesuai sehingga bisa dilakukan langkah adaptasi tes benkutnya dari segi kuantitatif untuk memperoleh keajegan daiam validitas dan reliabilitas suatu alat tes yang lebih baik.