Anak cacat mental adalah anak yang tergolong ?luar biasa". Maksudnya adalah anak secara signifikan dapat dianggap berbeda dengan anak-anak normal lainnya, terutama yang berkaitan dengan beberapa dimensi penting dari kemanusiaannya. Mereka mengalami hambatan baik dari aspek fisik, kognitif sosial dalam mencapai perkembangannya. Namun demikian anak cacat mental dengan klasifnkasi ringan tidak memperlihatkan kelainan fisik yang mencolok, mereka mampu untuk dididik, dapat mempunyai teman, keterbelakangannya dapat di ketahui saat anak masuk sekolah dasar, dan prose; penyesuaian dirinya sedikit lebih rendah dari pada anak-anak normal lainnya (Weiner, 1982). Kebanyakan dari anak cacat mental ringan mengetahui bahwa dirinya lebih terbelakang dibandingkan dengan kemampuan yang harusnya sudah dikuasai (Halpem, 1968). Beberapa diantara mereka menjadi frustrasi, menarik diri alan bertindak ?buruk? untuk mendapatkan perhatian dari anak lain atau orang dewasa (http://www.daycre.com/fasacts/redation.html).
Hasil penelitian Reiss, Menolascino dan Bregman, menemukan bahwa tingkat gangguan emosional pada anak cacat mental lebih banyak daripada anak yang bukan cacat mental (http://www.uab.edu/cogdev/mentreta.htm). Pada anak cacat mental ringan gangguan emosional yang sering terjadi adalah mereka menampilkan perilaku aggression, anxiety, depresi, attention problem, bahkan self injury (Corbct.,l985 ;Bregnan 1991 dalam Israel,l997). Menurut Exner (1982), pada anak dengan kategori cacat mental ringan (Educable Mentally Retarded) dapat diberikan tes Rorschach, karena dapat memberikan gambaran kepribadian anak terutama menyangkut aspek emosi. Selain itu melalui tes Rorschach dapat diketahui adanya frustrasi, agresif, kecemasan, hubungan interpersonal, konsep diri, asosinsi anak terhadap figur orang tua yang dihasilkan berdasarkan stimulus value yang ada pada tiap kartu dan analisis skor Rorschach.
Teknik Rorschach adalah salah satu tes proyeksi yang digunakan untuk mengungkapkan aspek-aspek kepribadian. Aspek kepribadian yang dapat terungkap pada tes Rorschach meliputi aspek kognitif emosi dan fungsi ego. Aspek emosi yang dapat diungkap oleh tes Rorschach adalah kondisi emosi seseorang, perasaan terhadap diri sendiri, responsititas terhadap lingkungan sekitar, reaksi terhadap tekanan emosi dan pengendalian dorongan emosional (Klopfer & Davidson 1962). Menurut Exner (1982) skor Rorschach pada anak cacat mental ringan lebih banyak memberikan sumbangan pada aspek emosi dibandingkan dengan aspek kognitif dan fungsi ego.
Penelitian ini dilakukan atas dasar ketertarikan peneliti, mengingat selama ini pemeriksaan psikologis di Klinik Bimbingan Anak Fakutas Psikologi UI terhadap anak cacat mental ringan jarang diberikan tes Rorschach. Dari data sekunder yang ada di Klinik Bimbingan Anak Fakultas Psikologi UI, hanya terdapat I kasus anak cacat mental ringan yang diberikan tes Rorschach. Terlihat bahwa pemeriksaan psikologis terhadap anak cacat mental ringan lebih ditekankan pada aspek kognitif dan fungsi adaptif namun kurang menekankan pada aspek emosinya. Anak cacat mental ringan mempunyai kebutuhan yang sama dengan anak normal menyangkut kebutuhan dasar, afeksi, rasa aman, dan penerimaan dari lingkungannya. Masalah emosional akan timbul saat kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi Lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat memegang peranan penting dalam membantu meningkatkan derajat stabilitas emosi anak cacat mental ringan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini menunjukan bahwa, masing-masing subyek memberikan respon berdasarkan pengalamannya, sesuai tempat tinggal atau lingkungan dimana individu tersebut berada. Gambaran aspek emosional yang tercermin melalui tes Rorschach meliputi, kondisi emosi anak cacat mental ringan mulai dari yang paling banyak hingga sedikit yaitu pasif menarik diri, merasa cemas, impulsif dan agresif. Konsep diri yang kurang baik, mengalami kesulitan untuk berhubungan secara emosional dengan orang lain, kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, selain adanya hambatan dalam memperhatikan dan mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Namun demikian mereka mampu melihat realitas dan bereaksi terhadap stimulus emosional. Mereka mengenal orang tua sebagai figure otoritas, adanya kebutuhan akan afeksi, penerimaan, dan keinginan untuk dilibatkan dalam lingkungan sosialnya.