Autisma adalah salah sam gangguan yang dialami dalam masa perkembangan
anak. Islilah ‘autisme’, baru dikenal di Indonesia secara luas semenj ak tahun 1995-an, dan
beberapa tahun terakhir merupakan suatu istilah atau fenomena yang cukup rnembuat
khawatir kebanyakan orang tua. Belakangan ini jumlah anak yang dicliagnosa menyandang
autisma semakin bertambah banyak seiring dengan meningkatnya faklor pemicu
munculnya gangguan ini seperti faktor lingkungan (termasuk polusi udara) dan pola hidup.
Menurut catatan pakar autis, di Amerika Serikat jumlah penyandang autis meningkat
tajam dari tahun ke tahun bila dibandingkan dengan kelahiran normal. Pada tahun 1987
dikatakan I diantara 5000 anak menunjukkan gejala autisme maka I0 tahun kemudian
tercatat l diantara 500 kelahiran. Bahkan pada 3 tahun terakhir meningkat menjadi l dari
|50 kelahiran dan pada tahun 2001 jumlah ini meningkat menjadi 1 dalam 100 kelahiran.
Jumlah p enyandang autis di Indonesia kurang diketahui secara pasti tetapi di iperkirakan
tidakjauh Dari perbandingan di Amerika tersebut
Banyak masyarakat yang belum memahanli istilah autis ini secara luas dan
seringkali terjadi salah pengertian terhadap istilah ini. Perasaan bersalah, stres dan
menghukurn diri sendiri sering terjadi pada orang ma yang anaknya didiagnosa sebagai
penyandang autisme ini karena belum memahami benar apa sebenamya autisma ini.
Sebagai suatu gangguan perkembangan yang baru dikenal luas masyarakat,
pemahaman terhadap istilah autisma sering kurang tepat. Bahkan para p rofcsional yang
menangani anak yang mengalami gangguan perkembangan pun kadang masih mengalami
kesulitan dalam rnendiagnosa seorang anak yang menunjukkan ciri-ciri autisme, sehingga
orangtua harus mendatangi beberapa orang ahli sampai mendapatkan kesimpulan bahwa
anaknya ternyata menyandang gangguan autisme. Terkadang suatu gejala sudah dianggap
menunjukkan kelainan tenentu dan penangananya hanya untuk mengatasi keterlambatan
yang ada tanpa melihat faktor lain yang mungkin menjadi penyebabnya. Seorang anak
yang menunjulckan gejala yang hampir sama dapat menghasilkan diagnosa yang berbeda.
Seorang anak yang menyandang autisma ini akan mengalami masalah, terutarna saat
memasuki usia sekolah. Mereka sulit mengikuti kegiatan di sekolah umum biasa karena
liclak clapat mengikuti instruksi yang diberikan oleh guru, berperilaku seenaknya dan
dianggap mengganggu tata trtib sekolah.
Gejala autisma sudah bisa terlihat dalam 30 bulan pertama kehidupan seorang
anak. Jadi sebelum mereka berusia 3 tahun, gangguan autisma ini sudah bisa dideteksi
bahkan sebagian dari mereka sudah menunjukkan gejala semenjak lahir, namun seringkali
luput dari perhatian orangluanya (Sutadi, 1997). Beberapa ahli masih memperdebatkan
pengklasifnkasian autisme ini, namun mereka sepakat dengan istilah Autistic Spectrum
Disorder (ASD) atau ganggguan dengan spektrum autistik. Gejala autistik muncul dalam
berbagai tingkatan dari yang ringan sampai yang berat dan tampak Iebih sebagai spektrum
karena ternyata ditemukan anak yang tidak hanya menampakkan gejala autis melainkan
juga anak dengan gangguan mmbuh kembang. Seperti anak yang rnengalami gangguan
dalam perkembangan bahasa tetapi memiliki keterampilan motorik yang relatif baik
sehingga istilah autis yang dikenal luas di masyarakat tidak h anya d itujukan p ada anak
yang menyandang autis mumi. 2
Gangguan autisme ini diklasifikasikan dalam beberapa tingkatan dar] yang ringan
hingga gangguan yang berat. Pengklasifikasian ini dapat dilakukan dengan menggunakan
‘alat’ antara lain dengan CARS ( Childhood Autism Rating Scale- bisa dipergunakan unluk
mendiagnosa anak yang berusia 3 tahun keatas) dan GARS (Gilliam Autism Rating Scale-
dapat dipakai untuk mendiagnosa penyandang autis berusia 3-22 tahun).
Aspek-aspek yang diungkap dalam CARS dan GARS secara garis besar adalah
sama. Perbedaannya keduanya adalah CARS masih menggunakan pengertian dari DSM-
III dan cenderung mendiagnosa autis seorang anak yang memiliki keterampilan verbal
yang minim, begitu juga terhadap anak yang memiliki keterbelakangan mental. Sedangkan
GARS dibuat berdasarkan DSM-IV yang memuat kriteria diagnosa autis yang lebih rinci.
Dalam studi ini peneliti mencoba untuk menyempurnakan instrumen berupa
cheklist sebagai pedoman anamnesa dan observasi yang dapat sekaligus member-ikan
gambaran kemajuan seorang anak penyandang autis sejak awal diagnosa sampai
saat/setelah ia menjalani terapi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan cheklist GARS,
dengan m enambahkan sejumlah aspek-aspek pertanyaan dalam anamnesa dan observasi
yang belum terdapat dalam GARS sebagai pelengkap. Cheklist yang baru ini diberi nama
GARS Plus.
Cheklist ini diharapkan dapat memudahkan pembuatan diagnosis dalam wakm
yang relatif singkat dan terutama ditujukan untuk panyandang autis yang berusia dibawah
5 tahun. Pemakaian terutama untuk usia balita, agar anak dapat didiagnosa secara tepat
semenjak dini karena pada usia balita terjadi perkembangan otak yang pesat. Anak dapat
diberi stimulasi untuk meningkatkan kemampuannya dan mengurangi dampak dari
gangguan ini.
Sampel penelitian pada penelitian ini adalah para orangtua dari 5 orang anak
penyandang autis yang sedang menjalani terapi di sebuah klinik. Sampel ini dipilih dengan
menggunakan teknik incidental sampling, artinya hanya terbatas pada orang tua yang
bersedia ikut sebagai sampel. Hasil diagnosis anak (penyandang) autis yang sudah ada
akan di cross-check dengan inslrurnen GARS plus, untuk melihat apakah hasil yang
didapat tetap konsisten.