Tesis ini membahas mengenai hadirnya KPK sebagai lembaga negara independen anti korupsi yang mempunyai kewenangan penuntutan. Kewenangan yang selama ini telah menjadi domain institusi Kejaksaan dengan asas universal bahwa Kejaksaan sebagai dominis litis dalam bidang penuntutan dan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi kewenangan penuntutan tersebut. Secara institusional atau kelembagaan terjadilah dualisme penuntutan dimana fungsi penuntutan di KPK dikendalikan oleh ketua KPK dan fungsi penuntutan di Kejaksaan dikendalikan oleh Jaksa Agung.
Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana mekanisme penuntutannya apabila terjadi penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK dan Polri secara bersamaan, apakah kewenangan penuntutan yang ada pada KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penuntutan suatu tindak pidana korupsi bila penyidikannya dilakukan oleh institusi Polri dan KPK secara bersamaan, untuk mengetahui apakah kewenangan penuntutan KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan untuk mengetahui apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Metode penelitian dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan suatu kajian yuridis normatif dan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap para guru besar atau akademisi dalam bidang Hukum Acara Pidana dan Kriminologi serta para praktisi dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK sudah sesuai dengan tujuan politik kriminal dari pemerintah dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu extraordinary crime dengan membentuk lembaga negara adhoc anti korupsi yang mempunyai kewenangan superbody, namun dalam prakteknya kewenangan tersebut juga menyimpangi sejumlah asas antara lain asas een ondeelbaar yaitu jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dimana Jaksa Agung berada di puncaknya sebagai pengendali, menyimpangi asas dominis litis yang berlaku universal dimana Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan dengan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi, serta adanya kekeliruan perihal ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat bertindak selaku penuntut umum, padahal mereka bukan lah seorang jaksa sehingga seharusnya pengendalian penuntutan terhadap jaksa-jaksa di KPK tetap berada pada Jaksa Agung.
This thesis discusses the existence of KPK as an anti-graft independence agency that has prosecutorial power. The authority that has been the domain of the District Attorney’s Office with universal principle that District Attorney’s Office as Dominus litis in prosecution and the Attorney General as the supreme official controlling the prosecutorial powers. Institutionally, there is a dualism in prosecution where the prosecutorial function at KPK is controlled by the KPK Chairman and the prosecutorial function is controlled by the Attorney General. The research question in this thesis is: how is the mechanism of the prosecution if the corruption case is handled by KPK and police investigators at the same time? Is the existing prosecutorial power of the Anti-Corruption Commission contrary to the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility) and is the dualism in prosecutorial powers in conformity with the integrated criminal justice system? The research methodology to answer the research question is by conducting a judicial normative study and a field research by interviewing professors or academia who are experts in Law of Criminal Procedure and Criminology as well as the practitioners of the graft eradication. The research findings state that the prosecutorial powers possessed by the Anti-Corruption Commission has conformed to the criminal politics objectives of the government in combating graft/corruption as an extraordinary crime by establishing an ad hoc anticorruption state agency which has the authority of a superbody; however, in practice this power also violates a number of principles, among others the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility), i.e. there is only one prosecutor and is inseparable in which the Attorney General is at the top as the controller, deviates from the principle of dominus litis that is applicable universally in which the District Attorney’s Office is the only prosecution agency with the Attorney General as the supreme controller, as well as the existence of errors in the provision stating that KPK Chairman can act as public prosecutor, despite the fact that he is not a prosecutor; therefore, the prosecution control of the prosecutors at KPK shall remain in the hands of the Attorney General.