ABSTRAKHubungan antara penyidik dan penuntut umum dalam penanganan perkara
dijembatani dengan prapenuntutan. Dalam prapenuntutan ini tidak ada batasan
berapa kali bisa terjadi bolak-balik hasil penyidikan antara penyidik dengan
penuntut umum. Dampaknya adalah menumpuknya perkara tindak pidana di
Kejaksaan. Sehingga terjadi ketidakpastian hukum baik bagi tersangka maupun
korban, hal inilah yang akan dilihat dalam perspektif hak asasi manusia.
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan desain preskriptif. Hasil
penelitian menyimpulkan prapenuntutan tidak dilakukan secara maksimal oleh
penuntut umum karena ketidaktegasan penuntut umum menyikapi suatu perkara.
Karenanya perlu ketegasan penuntut umum dalam menyatakan sikap terhadap
suatu perkara yang didukung oleh standar operasional prosedur, dengan demikian
kepastian hukum sebagai salah bentuk satu hak asasi manusia akan dapat
diperoleh oleh korban maupun tersangka.
ABSTRACTThe relation between investigators and prosecutors in case handling abridged with
pre-prosecution. In this pre-prosecution there is no limit how many times can
come back and forth between certified the results of the investigation by the
public prosecutor. The implications of this is the build up the matter of a criminal
offense in prosecutor ' s office. So happen uncertainty law good for the suspect, as
well as victims these matters would be seen in perspective human rights. This
research is research juridical normative with a design prescriptive. The results of
research concludes pre-prosecution not carried out optimally by the public
prosecutor because indecisiveness prosecutors due to a cause. Therefore need to
explicitness prosecutors in declaring attitude toward a cause that is powered by
standard operating procedures, thus legal certainty as any the form of a human
rights will be obtained by the victim, and suspect.