ABSTRAKFilm tidak hanya menjadi sarana hiburan tetapi juga medium penyampaian pesan,
representasi dan kritik sosial. Film Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar
Ismail yang telah melewati proses restorasi merupakan salah satu film Indonesia
yang sarat kritik sosial. Menarik untuk melihat bagaimana generasi muda
memaknai sebuah film dari era yang berbeda kemudian mencoba melihat gagasan
yang terdapat dalam film tersebut dengan konteks saat ini dan dengan pemahaman
yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan menggunakan encoding-decoding
(analisis resepsi) Stuart Hall, dapat diketahui bagaimana generasi muda sebagai
audiens mengonstruksi realitas Indonesia pascarevolusi. Posisi audiens dapat
berupa opposition, dominant dan negotiated. Dalam teori resepsi, faktor
kontekstual mempengaruhi audiens membaca teks media, seperti elemen identitas
khalayak, persepsi, latar belakang sosial, sejarah dan isu politik. Pada penelitian
ini, subjek penelitian tergabung dalam komunitas interpretatif, di mana masingmasing
memaknai teks media secara aktif dan memiliki minat yang sama terhadap
satu konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa audiens sepakat bahwa film
Lewat Djam Malam (LDM) masih relevan dengan kondisi saat ini. Seseorang
yang memiliki pengetahuan sejarah Indonesia yang terbatas, cenderung
mengambil posisi dominan. Ia sepenuhnya menyetujui apa yang disampaikan oleh
encoder. Seseorang yang memiliki pengetahuan sejarah dan politik Indonesia
yang cukup dan secara aktif menggali gagasan dalam sebuah film, memaknai film
LDM secara negotiated. Ada nilai-nilai dalam film LDM yang tidak sejalan
dengan dirinya namun masih dapat menerima gagasan tersebut. Konstruksi
realitas Indonesia pascarevolusi yang digambarkan dalam film LDM adalah
karakter manusia pascarevolusi yang beragam diwakili oleh berbagai karakter
dalam film ini, situasi ekonomi dikonstruksikan dalam kondisi stabil, tidak cocok
dengan situasi Indonesia pascarevolusi sebenarnya. Situasi sosial dan politik
digambarkan melalui pemberlakuan jam malam untuk menjaga keamanan,
perbedaan gaya hidup kelas menengah dan kelas bawah, korupsi, prostitusi, upaya
nasionalisasi perusahaan asing serta beragam kondisi mantan pejuang yang
beradaptasi dengan keadaan Indonesia yang telah merdeka.
ABSTRACTMovie is not only a medium of entertainment, but it is also a way of delivering
messages, representation, and social criticism. Lewat Djam Malam (1954), written
by Usmar Ismail, is one of Indonesian films which has social criticism. It is
interesting to see how young generations make sense of a movie from different
eras and understand the ideas of the movie with the current context and its
previous knowledge. Applying Stuart Hall?s theory, the encoding-decoding
(reception analysis), we can see how young people construct post-revolution
Indonesia. There are three positions of audiences in this theory: opposition,
dominant, and negotiated. In reception theory, contextual factors influence
audiences read texts on media, such as identity, perception, social background,
history, and political issues. In this research, the subjects were members of
interpretive community, in which each of them actively interpret the texts and
have similar interests to the content. The results showed that audiences agreed
Lewat Djam Malam (LDM) is still relevant to current conditions. Someone who
has limited knowledge of Indonesian history tends to take a dominant position. He
completely agrees to what is conveyed by the encoder. Moreover, a person who
has knowledge of Indonesian history and politics fairly and actively explores the
idea in a movie, interprets this movie as negotiated. There are values in LDM that
is not in line with them, but they still can accept. Reality constructions of postrevolution
Indonesia depicted in this movie are the various characters on LDM,
the economic situation constructed in a stable condition, do not fit the situation of
post-revolution Indonesia. Social and political situations are illustrated by the
curfew to maintain security, differences of lifestyle between middle and lower
classes, corruption, prostitution, nationalization of foreign companies and various
conditions of ex-soldiers adapting in new situation, the independence of
Indonesia.