ABSTRAKKekerasan atas nama agama kembali mengemuka di Tanah Air. Kali ini kekerasan tersebut menimpa kelompok minoritas Muslim Syiah di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur. Fenomena menguatnya intoleransi atas nama agama kepada kelompok minoritas seakan terus meningkat sebagaimana dilaporkan sejumlah lembaga pemantau hak asasi manusia. Dalam berbagai publikasi tersebut dikatakan bahwa negara absen dalam perlindungan kepada kelompok minoritas tersebut. Untuk itulah dalam menjamin aktualisasi kebebasan agama dan keyakinan perlu peningkatan peran dan aktivisme masyarakat sipil (civil society), khususnya organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang berbasis agama.
Dalam penelitian ini ingin dilihat bagaimana peran OKP Berbasis Agama dalam perlindungan terhadap hak-hak kelompok minoritas Syiah di Sampang (seperti hak untuk eksis, perlindungan identitas, kesetaraan dan nondiskriminasi, serta partisipasi). Apa saja bentuk dan praktik peran yang dijalankan, sejauh mana tantangan dan hambatan yang dihadapi. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif analistis, dimana peneliti berusaha menguraikan objek penelitian secara deskriptif, hasilnya kemudian diinterpretasikan secara analistis. Penelitian ini dikerjakan sejak April hingga Juni 2013 di Jakarta, Bangil (Pasuruan), Malang, Sidoarjo, Surabaya dan Sampang.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar OKP berbasis agama melakukan perlindungan sesuai dengan kemampuannya. Mulai dari yang sederhana seperti pengakuan terhadap eksistensi Syiah, pengecaman atas praktik kekerasan yang mereka alami, bantuan kemanusiaan, upaya advokasi dan pendampingan hingga soal rintisan upaya rekonsiliasi yang integratif dengan basis kearifan lokal dan keterlibatan semua stakeholders yang ada di Kabupaten Sampang. Hanya OKP Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang memberikan perhatian lebih dalam perlindungan terhadap komunitas Syiah di Sampang, sesuai garis instruksi dari pusat hingga daerah. Kendati mereka juga mengalami sejumlah dilema seperti harus berkonflik dengan keluarga besar Nahdliyyin (Kiai) maupun terancam secara fisik oleh keterlibatan para preman (blater) dan elite politik lokal.
ABSTRACTViolence in the name of religion re-emerged in Indonesia recently. This time the violence befall minority Shiite Muslims in Sampang, Madura, East Java. Strengthening phenomenon of intolerance in the name of religion to minority groups as reported as increasing number of human rights monitoring agency. In various publications is said that the country missed the protection of minorities. To ensure that the actualization of freedom of religion and belief and the need to increase the role of civil society activism (civil society), especially the youth community organizations (OKP) is based on religion.
In this study wanted to see how the role of religion in OKP-based protection of the rights of minority Shia group in Sampang (such as the right to exist, identity protection, equality and non-discrimination, and participation). What are the forms and practices of the role of the run, the extent of the challenges and obstacles faced. The method used is descriptive qualitative analytical approaches, researchers tried to decipher where the object of study is descriptive, analytical results are then interpreted. This research was carried out from April to June 2013 in Jakarta, Bangil (Pasuruan), Malang, Sidoarjo, Surabaya and Sampang.
The results showed the majority of faith-based OKP doing protection according to his ability. Ranging from as simple as a recognition of the existence of Shiites, denouncing the use of violence they experienced, humanitarian assistance, advocacy and assistance to the pilot about the integrative reconciliation efforts with the local knowledge base and involvement of all stakeholders in the district of Sampang. Only Indonesian Islamic Students Movement (PMII) which gives more attention to protecting the Shiite community in Sampang, appropriate instruction line from the center to the regions. Although they also experienced a number of dilemmas such as having a large family conflict with nahdliyyin (Kiai) or physically threatened by the involvement of the thugs (blater) and the local political elite.