ABSTRAKTragedi Bom Bali di Legian Kuta pada tanggal 12 Oktober 2002 membawa isu terorisme ke garis depan pemikiran keamanan di Indonesia. Karena serangan yang mendadak, banyak korban yang tewas. Konstitusi Indonesia UUD 1945 mengamanatkan negara untuk bertanggungjawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini pemerintah Indonesia yang merumuskan sebuah kebijakan. Kebijakan adalah produk dari proses politik dimana dilakukan pemisahan atau pembagian kekuasaan. Salah satu bentuk kebijakan adalah kebijakan kriminal yang mengatur respon hukum masyarakat dan strategi pemberantasan kejahatan yang dilakukan secara formal oleh negara. Saat ini dalam kebijakan pidana Indonesia, terorisme didefinisikan sebagai tindak pidana. Hal ini telah menjadi perdebatan panjang karena ambiguitas dalam definisi teror dan telah menghasilkan multitafsir karena ketidakjelasan definisi teror. Banyak orang kuatir definisi teror ini akan diterjemahkan bebas oleh para pemangku kepentingan. Akibatnya, tujuan ideal dari suatu kebijakan tidak dapat dicapai, sebaliknya malah menghasilkan masalah baru yang mencederai demokrasi. Penelitian kriminologis ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mengumpulkan data. Dalam hal menganalisis data, digunakan teori hegemoni Gramsci Antonio serta teori kriminologi konstitutif Stuart Henry dan Dragan Milovanovic. Penelitian ini menyimpulkan bahwa negara telah memainkan peran penting untuk merumuskan strategi kontra terorisme di Indonesia dengan pendekatan Penegakan Hukum dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia pada kerangka demokrasi. Meskipun demikian, model Penegakan Hukum ini tetap harus didukung oleh langkah-langkah pencegahan yang akan diatur dalam kebijakan sosial untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan koersif dan kekuatan persuasif.
ABSTRACTThe tragedy of Bali Bombing in Legian-Kuta in October 12, 2002 brought the issue of terrorism to the forefront of Indonesia’s security thinking. Due to the suddenness of attack, a large number of people were killed. The Constitution of Indonesia UUD 1945 has mandated the state to be responsible to protect all Indonesian people and Indonesia’s motherland. To achieve this purpose Indonesia’s government formulated a policy. Policy is a product of the political process under which circumstances separation or distribution of power is executed. One form of policies is criminal policy which regulates legal responses of the society and the strategy on crime eradication that legalized formally by the state. Currently in Indonesia’s criminal policy, terrorism is defined as criminal act. This has been a long debate because of the ambiguities in the definition of terror and has produced multi-interpretation because it does not clearly specify the definition of terror. Most people feel anxious this the definition of terror interpreted freely by stakeholders. As a result, the ideal purpose of a policy could not be achieved, on the contrary it will produce a new problem that harms democracy instead. This criminological research is conducted by using qualitative research methods to collect data. In order to analyze the data, the theory of hegemony Antonio Gramsci as well as the theory of constitutive criminology Stuart Henry and Dragan Milovanovic were applied. This research concludes that the state has played an important role to formulate Indonesia’s counter terrorism strategy in Law Enforcement model due to the protection of human rights in the democracy framework. However, this Law Enforcement model should be supported by the preventive measures which will be regulated under social policy to keep the coercive power and the persuasive power balance.