ABSTRAKPenelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya produk UU Pemilu yang dihasilkan oleh DPR RI dan pemerintah. Sebagai landasan hukum Pemilu tahun 2014 DPR-RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang merupakan perubahan terhadap UU No.10 Tahun 2008 menjadi UU No. 8 Tahun 2012.
Ada empat isu krusial yang muncul dalam pembahasan UU Pemilu ini yaitu:
Pertama, Besaran daerah pemilihan, mengingat beberapa partai politik ingin memperkecil angkanya;
Kedua, formula alokasi kursi partai politik;
Ketiga, formula penetapan calon terpilih;
Keempat, ambang batas perwakilan atau Parliamentary Threshold (PT).
Setelah melewati proses argumentasi dalam rapat-rapat yang diadakan oleh Tim Pansus UU Pemilu, fraksi-fraksi belum menemukan titik temu kesepakatan tentang empat poin krusial pada RUU Undang-undang No. 10 Tahun 2008. Akhirnya proses pengesahan dilakukan melalui voting sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan di DPR-RI. Melalui proses voting dalam Rapat Paripurna, DPR RI akhirnya menyepakati empat poin krusial dalam Undang-undang No. 8 Tahun 2012 salah satunya adalah peningkatan angka Ambang Batas Parlemen PT (Parliementary Threshold) dari 2,5 % menjadi 3,5 % yang berlaku secara nasional. Khusus untuk kenaikan Ambang batas parlemen, voting dilakukan setelah sebelumnya terjadi loby antar fraksi-fraksi setelah sebelumnya terjadi perbedaan konfigurasi prosentasi kenaikan angka Ambang batas parelemen ini dari 2,5 % - 5%.
Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengapa terjadi kenaikan terhadap ambang batas parlemen dan juga ingin mengetahui dan menganalisa kebijakan PT (Parliamentary Threshold) sebagai bagian dari sistem pemilu. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori partai politik Alan Ware, teori pemilu Arendt Lijphart, teori parlementarian Arend Lijphart dan teori analisa kebijakan publik William N.Dun. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data administratif dan wawancara mendalam dengan pihakpihak yang terkait. Temuan dilapangan menunjukkan bahwa proses formulasi kebijakan ini masih mencerminkan proses demokrasi yang semu dan pragmatisme fraksi-fraksi dari partai politik yang ada di parlemen. Kenaikan PT harusnya dilakukan melalui proses pengkajian akademis secara mendalam dengan melibatkan para pihak yang kompeten dan lebih visioner sehingga proses demokrasi di Indonesia terus berjalan ke arah yang lebih baik.
ABSTRACTThis research is motivated by the Election Law products that produced by the House of Representatives and the government. As the legal basis for election in 2014 the House of Representatives has passed the Bill which is an amendment to the Electoral Act No.10 of 2008 into Act No. 8 Year of 2012.There are four crucial issues that emerged in the discussion of the election law :First, the magnitude of electoral districts, remember some political parties want to reduce the numbers;Second, political party seat allocation formula;Third, the formula determining the candidate elected;Fourth, the threshold representation or Parliamentary Threshold (PT). After passing the arguments in meetings held by the Special Committee of the Election Law, the factions have not found common ground on a four-point agreement on the crucial Bill Law No. 10 of 2008.Finally the ratification process through voting conducted in accordance with the decision-making mechanism in the House of Representatives. Through the process of voting in the plenary session, the House of Representatives finally agreed on four crucial points in the Law No. 8 In 2012, one of which is the increasing number of Parliamentary Threshold PT (Parliamentary Threshold) from 2.5% to 3.5% which applies nationally. Specifically to increase the parliamentary threshold, after the voting is done before going on lobbying between the factions after previously occurred configuration differences percentage rise in the parelemen threshold of 2.5% - 5%.This study was therefore conducted to seek answers as to why there is an increase of the threshold of parliament and also wanted to know and analyze the policy PT (Parliamentary Threshold) as part of the electoral system. As a theoretical foundation, this study uses the theory of Alan Ware political parties, election theory Arendt Lijphart, Arend Lijphart parlementarian theory and the theory of public policy analysis William N.Dun. This study used qualitative methods, while data analysis using descriptive analysis. Data was collected by collecting administrative data and in-depth interviews with relevant parties. Field findings indicate that the process of policy formulation is still reflecting the democratic process and the apparent pragmatism fractions of political parties in the parliament. The increase in PT should be done through a process of academic study in depth with the parties involved is more visionary and competent so that the democratic process in Indonesia continued to walk towards the better.