ABSTRAKSiklofosfamid adalah salah satu jenis obat kemoterapi yang oleh International
Agency for Research on Cancer (IARC) dinyatakan mempunyai sifat karsinogenik,
mutagenik, dan teratogenik bagi manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
proporsi pekerja kesehatan yang terdeteksi kadar siklofosfamid dalam plasma dan
faktor yang berhubungan.
Penelitian ini dilakukan secara potong lintang. Data dikumpulkan dengan
kuesioner, wawancara, observasi dan pemeriksaan sampel darah untuk menilai kadar
siklofosfamid dalam plasma. Responden penelitian ini terdiri dari semua pekerja
farmasi yang terpajan siklofosfamid berjumlah 10 orang dan perawat yang terpajan
siklofosfamid diambil secara purposive 100 orang dari 187 orang.
Pemeriksaan kadar siklofosfamid dalam plasma menggunakan LCMSMS
dengan LOD sebesar 0.025ng/mL. Proporsi pekerja kesehatan yang terdeteksi kadar
siklofosfamid dalam plasma sebesar 38.2%. Pada analisis bivariat tidak didapatkan
hubungan bermakna antara faktor risiko yang diteliti dengan terdeteksi kadar
siklofosfamid dalam plasma (p>0,05). Dari pengamatan ditemukan bahwa sistem
pembuangan udara tidak baik dan alat pelindung diri yang tidak sesuai dengan
kebutuhan yaitu menggunakan masker bedah yang tidak memberi proteksi pada
pekerja. Pada penelitian ini tidak didapatkan adanya hubungan bermakna antara faktor
risiko dengan terdeteksi kadar siklofosfamid dalam plasma. Tingginya proporsi
pekerja kesehatan yang terdeteksi kadar siklofosfamid dalam plasma kemungkinan
disebabkan karena pengaruh sistem pembuangan udara dan penggunaan alat
pelindung diri yang tidak sesuai.
ABSTRACTCyclophosphamide is one of chemotherapy drug which has declared have
carcinogenic, mutagenic, and teratogenic to humans by the International Agency for
Research on Cancer (IARC). This study aimed to determine the proportion and
related factors of health workers who were detected with levels of cyclophosphamide
in plasma.
This study was conducted with cross-sectional method. Data were collected
by questionnaires, interviews, observation and examination of blood samples to
assess levels of cyclophosphamide in plasma. Respondents of this study consisted of
all workers which exposed to cyclophosphamide, pharmacists about 10 people and
nurses purposively drawn 100 people from 187 people.
The level of cyclophosphamide in plasma was examined using LCMSMS
with LOD of 0.025ng/mL. The proportion of health workers who were detected with
cyclophosphamide in their plasma are 38.2%. Bivariate analysis found no significant
association between the risk factors studied with detectable levels of
cyclophosphamide in plasma (p> 0.05). On the observation found the improper use of
exhaust system and the personal protective equipment that does not comply with the
requirement using the surgical masks that is not provide any protection to workers.
This study found no significant relationship between the risk factors with
detectable levels of cyclophosphamide in plasma. The high proportion of health
workers cyclophosphamide levels detected in plasma is probably due to the influence
of improper air exhaust system and the inappropriate use of personal protective
equipment.