Penelitian ini diharapkan mempunyai signifikansi teoritis pada ranah gerakan sosial dan ranah studi mengenai teori framing. Dari ranah studi gerakan sosial, studi mengenai gerakan sosial selama ini lebih banyak memfokuskan pada aktor dan struktur politik. Keberhasilan dan kegagalan gerakan sosial selalu dikaitkan dengan sumber daya yang dipunyai oleh aktor atau dari sisi struktur kesempatan politik Gerakan sosial sangat jarang dilihat dari perspektif bagaimana aktor-aktor mengemas, mengkonstruksi pesan-pesan politik. Di sini keberhasilan atau kegagalan gerakan sosial dilihat bagaimana aktor mengkonstruksi dan mengemas peristiwa untuk disajikan kepada anggota gerakan dan khalayak luas. Pada titik ini, disiplin ilmu komunikasi bisa memberikan sumbangan dalam memperkaya khasanah studi mengenai gerakan sosial. Pada ranah studi framing, studi selama ini lebih banyak menitikberatkan pada analisis teks. Tetapi teori dan analisis framing jarang dipakai untuk melihat bagaimana seseorang mengkonstruksi, mengemas suatu peristiwa.
Penelitian ini melihat gerakan sosial dalam perspektif framing. Ada dua teori yang dipakai, yakni teori framing dan teori gerakan sosial. Teori framing yang dipakai adalah teori dari Erving Goffman. Bagi Goffman, individu tidak bisa mengerti dunia atau realitas tanpa menghubungkannya dengan pengalaman hidup agar realitas tersebut bisa masuk ke dalam skema pikiran individu. Sementara teori gerakan sosial yang dipakai adalah teori yang dikemukakan oleh William A. Gamson, David A Snow dan Robert D. Banford.Teori gerakan sosial dari William A. Gamson, David A Snow dan Robert D. Banford mempunyai perspektif yang berbeda dengan teori resource mobilization dan kesempatan politik. Jika kedua teori tersebut lebih menitikberatkan pada struktur, maka teori gerakan sosial dalam perspektif framing lebih menekankan pada budaya (kultur).
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Desain studi kasus yang dipakai adalah studi kasus instumental. Kasus dipakai untuk menjelaskan fenomena lebih besar, yakni posisi framing dalam gerakan sosial di Indonesia. Kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah sengketa KPK-Polri Jilid I (2009) dan Jilid II (2012). Penelitian ini dilakukan atas 10 isu atau perdebatan penting kasus sengketa KPK-Polri tahun 2009 dan 2012. Data lapangan dikumpulkan lewat empat teknik, yakni observasi lapangan, wawancara mendalam, studi dokumen dan analisis teks.
Studi ini mengambil kasus sengketa KPK-Polri, baik Jilid I tahun 2009 (kasus Bibit-Chandra) ataupun Jilid II tahun 2012 (kasus simulator SIM). Pada kedua kasus ini, gerakan sosial yang berhasil "menang" adalah pro KPK. Ahliahli gerakan sosial umumnya melihat tiga elemen yang penting dan saling berkaitan, yakni (a)aktor gerakan sosial; (b)media dan (c)khalayak. Aktor gerakan sosial dilihat dalam perspektif framing sebagai pihak yang secara aktif bersaing dan bertarung dalam memperebutkan makna atas peristiwa. Sementara media dilihat sebagai entitas yang berperan dalam menyebarkan frame atas peristiwa sehingga pemaknaan dari masing-masing aktor gerakan sosial bisa tersebar luas ke masyarakat. Sedangkan elemen khalayak berkaitan dengan sumber dukungan dari gerakan sosial. Para ahli umumnya melihat elemen aktor gerakan sosial, media dan khalayak secara linear. Atau secara sederhana dibahasakan dengan: aktor gerakan sosial mempengaruhi media selanjutnya media mempengaruhi khalayak.
Hasil studi ini memperlihatkan, ketiga elemen (aktor gerakan sosial, media dan khalayak) tidak harus digambarkan secara linear. Masing-masing elemen itu pada dasarnya subjek yang mempunyai pemahaman dan penafsiran tersendiri atas peristiwa. Selain tidak linear, hasil studi ini juga memperlihatkan masing-masing elemen juga bisa saling memberikan pengaruh. Frame atas suatu peristiwa itu hasil konstruksi yang dilakukan oleh aktoraktor gerakan sosial. Frame yang muncul atas suatu peristiwa karena itu tidak dipahami sebagai proses alamiah, tetapi dilihat sebagai proses strategik (strategic frame). Proses strategik ini meliputi jembatan frame (frame bridging), penguatan frame (frame amplification), perpanjangan frame (frame extention) hingga transformasi frame (frame transformation). Proses terbentuknya frame dilihat oleh para ahli gerakan sosial lahir dari dinamika tertentu. Aktor gerakan sosial melakukan pendefinisian atas peristiwa. Tetapi proses ini tidak statis karena ketika membentuk frame, aktor gerakan sosial juga menggunakan pemberitaan media dan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.
Media mempunyai keterkaitan dengan gerakan sosial. Media membutuhkan aktor gerakan sosial sebagai sumber berita. Sebaliknya, aktor gerakan sosial membutuhkan media agar pemaknaan mereka atas peristiwa lebih mendominasi pemberitaan media sehingga masyarakat lebih mendukung gerakan mereka. Penelitian ini memperlihatkan tidak ada upaya khusus dari aktor gerakan sosial pro KPK untuk mendekati media. Pandangan jurnalis sendiri sejak awal memang lebih pro terhadap KPK dibandingkan kepolisian, sehingga media lebih banyak memberi tempat kepada versi KPK dibandingkan kepolisian.
Peneliti mengusulkkan suatu model yang melihat keterkaitan antara aktor gerakan sosial, media/jurnalis, frame media dan frame khalayak. Model ini merupakan pengembangan dari model Gamson, Scheufele dan Benford and Snow. Ada dua hal yang membedakan model yang ditawarkan penulis dengan model lain. Pertama, aktor gerakan sosial, khalayak dan media harus dilihat sebagai subjek yang mengkonstruksi realitas. Jurnalis dan media mengkonstruksi peristiwa, hal yang sama juga aktor gerakan sosial dan khalayak. Khalayak harus dilihat sebagai entitas yang mempunyai pemikiran, keberpihakan dan pada akhirnya secara aktif mengkonstruksi peristiwa. Kedua, aktor gerakan sosial, khalayak dan media, selain dilihat sebagai subjek, juga harus dilihat saling mempengaruhi. Misalnya, keterkaitan antara frame media dengan frame khalayak. Pandangan khalayak kemungkinan bisa dipengaruhi oleh frame yang disajikan dalam pemberitaan media, tetapi pada saat bersamaan media juga mengangkat frame khalayak yang sejak lama antipati terhadap korupsi.
It is hopeful that this study contributes some theoretical significance in the social movement as well as framing studies. In the previous social movement studies, the focuses were more on the actors and political structure;where the success and failure of the social movement were mostly associated with resources owned by the actors or from the perspective of political opportunity. Social movements are very rarely viewed from the perspective of how actors frame, and construct political messages. In this research, the success or failure of social movements is not seen from the resources and opportunity structures owned by the actor, but instead, is viewed from the results of the constructing and framing of the events prior to the publication to members of the movement and to other wider audience. At this point, communication discipline has itscontribution in enriching the study of social movements. The study of framing is usually emphasizing on text analysis and is rarely used to see how people construct and frame an event or phenomena. The research looked at the social movement using framing perspective. Two theories are used, namely the theory of framing and social movement theory. The framing theory of Erving Goffman is applied in this research. For Goffman, individual cannot understand the world or reality without relating it with one?s life experience, in so doing the reality can then be digested into the mind of the individual. While the social movement theory used is the one proposed by William A. Gamson, David A Snow and Robert D. Banford. In their theory, Gamson et al. proposed a different perspective to the resource mobilization and political opportunities. Both theories are more focused on the structure, while the theory of social movement in framing perspective is more emphasizing on the construction of the message. This research uses the case study method, i.e.: instrumental case study. A case is used to explain the larger phenomenon, namely the position of framing in social movements in Indonesia. The cases analyzed in this study are the 10 important issues of KPK-POLRI dispute Part I (2009) and Part II (2012). Field data are collected through observation, in-depth interviews, documents review, and text analysis. This study analyzed two parts of KPK-POLRI disputes, i.e.: part I in 2009 in the case of Bibit-Chandra and Part II in 2012 in the case of SIM (Driving License) Simulator case. In both cases, the successful social movements that ?win? is the one pro KPK. Experts in social movements generally look at three interrelated and essential elements, as follows: (a) the social movement actors; (b) the medium; and (c) the populace or audience. The actors of the social movement are viewed as those who are actively competing and fighting over the meaning of events. Media is seen as an entity that plays a role in spreading the frame of the events so that the meaning constructed by each social movement actor can be spread to the community. The audience is associated as the supporting resource of the social movement. The scholars see those three elements (the actor, the media, and the populace) as linear sequence of influence. Simply say: the actor influences the media and further on the media influences the audience. The research findings in this dissertation show otherwise. Those three elements do not necessarily be potrayed as a linear sequence. Thus, each element is basically a subject that has its own understanding and perception on an event. Furthermore, this study suggest that each element can be influencial to each other in a non linear way. Frame of the event is the result of deliberate construction process performed by actors of social movements. Frame is not understood as a natural process, but is seen as a strategic process (strategic frame). This strategic process includes frame bridging, frame amplification, frame extention to transform frame (frame transformation). The process of forming the frame is seen by scholars of social movements as rooted on a certain dynamics. However, this study shows that social movement actors define the events, andthe process of it is not merely statical as only done by the social movement actors themselves, rather it is a dynamic process involving and using the flourishing news in the media and the perception of the public on that particular issue. The media is linked with social movements. Media need actors of social movements as a source of news. On the other hand, the social movement actors need the media so that their potrayal of the events can dominate the news in the media, and thus will attract more people to support their movement. However, this study shows that there is no special effort from ?pro KPK? social movement actors (i.e.: the public relations of KPK) to approach or influence the media, in order to put their version of news having more place in the media. From the very beginning, the perception of thejournalists on this issue tend to be ?pro KPK? rather than ?pro POLRI?, and therefore the media give more attention and placement to the ?pro KPK? news. This findings proofs that the success of social movements in the KPK-POLRI disputes, where the news in the media is dominantly show ?pro KPK? is not due to the success of social movement actors in approaching the media, but rather because of the congruence of values between journalists and social movement actors. Results of this study have implications for theories on the relationship between frames, media and social movements. Researcher proposes a model to potray the connection between the actors of social movements, media / journalists, media frames and audience frames. This model is a development of the model proposed by Gamson, Scheufele, Benford and Snow. There are two things that distinguish the models as offered by authors compared to other models. First, each party (social movement actors, audiences and media) should be seen as a subject that constructs reality. Journalists and media construct events, the same is done by the social movement actors and audiences. Audiences should be seen as an entity that has a thought, alignments and eventually actively construct events. Second, each of the entities (social movement actors, audiences and media) is seen as a subject that can influence and be influenced or be affected by each other. This interconnectedness is evident in this research findings. For example, the relationship between media frame and audience frame. The perception of the audience might be influenced by the frame presented in the news media, however, at the same time, the media also raised the issue of a long time audience frame of against corruption or an antipathy to it.