Penelitian ini membahas mengenai pertarungan antara Aburizal Bakrie dengan Surya Paloh dalam merebutkan posisi Ketua Umum Partai Golkar pada Munas ke VIII di Pekanbaru, Riau Tahun 2009. Penelitian ini dilatarbelakangi terjadinya faksionalisasi di Partai Golkar menjelang pemilihan ketua umum, terutama antara Aburizal Bakrie dengan Surya Paloh. Faksionalisasi tersebut selain dipengaruhi faktor internal juga dipengaruhi faktor eksternal. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses - proses pemilihan, faktor - faktor yang membuat faksionalisasi, dan bagaimana implikasinya terhadap Partai Golkar.
Pijakan teoritis penelitian ini menggunakan teori konflik dari Maswadi Rauf, Ralf Dahrendrof, Gerhard Lanski, Novri Susan dan Jurgen Habermas. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan teori Partai Politik Alan Ware. Selain itu peneliti juga menggunakan teori faksionalisme dari Samuel Huntington, Robert Dahl, dan Belloni dan Beller. Sementara itu untuk melihat terjadinya polarisasi peneliti kembali menggunakan Samuel Huntington dan Gary Cox. Sedangkan untuk melihat proses demokrasi, peneliti menggunakan teori demokrasi Max Webber. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data primer dan skunder. Data primer didapat dari wawancara dan kajian pustaka, sementara untuk data skunder diperoleh dari media massa.
Terdapat faktor mengapa pertarungan antara Aburizal Bakrie dan Surya Paloh terjadi. Faktor internal meliputi adanya perbedaan visi dan misi, faktor dukungan pemilik suara, dan faktor kekuatan money politic. faktor eksternal meliputi adanya dukungan penguasa terhadap salah satu kandidat Ketua Umum Partai Golkar.
Implikasi dari pertarungan kedua elite Partai Golkar adalah perpecahan di Golkar. Perpecahan ini ditandai dengan keluarnya beberapa elite partai sebagai dampak dari Munas ke VIII dan kebijakan zero sum game. Akibat dari perpecahan ini lahir partai politik yang dibentuk oleh mantan elite ? elite Partai Golkar. Jika ditelusuri semenjak pasca reformasi 98 Golkar adalah partai yang selalu mengalami perpecahan, khususnya pasca pemilihan ketua umum dan penentuan calon presiden. Hal ini disebabkan lemahnya managemen konflik di Partai Golkar dan proses rekrutmen yang lebih mengandalkan kekuatan finansial.