UI - Tugas Akhir :: Kembali

UI - Tugas Akhir :: Kembali

Hubungan antara distraksi dengan timbulnya gangguan neurologis dan perubahan histopathologis pada spinal cord lumbal kelinci coba sebuah penelitian eksperimental = Neurological disturbances and histopathological changes on experimental rabbits due to distraction to rabbits lumbar spinal cord an experimental study

(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013)

 Abstrak

[Pendahuluan: Spinal cord injury (SCI) merupakan kejadian yang katastrofik, yang sering kali menyebabkan disfungsi neurologis yang signifikan serta disabilitas yang seringkali permanen, yang konsekuensinya tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien sepanjang hidupnya, namun juga terhadap keluarga dan masyarakat.(6,7) SCI ditandai dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom yang kompleks, yang derajatnya menandakan berat SCI yang dialami. SCI terdiri atas sejumlah gejala yang menunjukkan kerusakan neuron dari Central Neural System (CNS), yang berkisar mulai dari foramen magnum hingga regio tulang belakang bawah.
Di seluruh dunia, angka kejadian SCI kurang lebih 40 kasus per juta orang per tahun. SCI traumatik disebabkan antara lain oleh kecelakaan lalulintas (47%), jatuh (23%), kekerasan/kriminalitas (14%), cedera olahraga (9%), serta penyebab lain yang mencakup hingga 7% angka kejadian, termasuk di dalamnya SCI iatrogenik yang dapat terjadi dalam operasi intervensi tulang belakang.(5) Di USA, Eropa, dan Jepang, SCI terjadi pada kurang lebih 30.000 individu per tahun, serta merupakan problem kronis bagi kurang lebih 500.000 pasien di seluruh dunia. Di wilayah Asia Pasifik, 300-400 kasus baru dilaporkan tiap tahunnya, dengan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia 28.6 tahun, dan setengah dari seluruh pasien ini merupakan golongan usia muda yang seharusnya berada dalam periode paling produktif dalam hidup mereka.(6).
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research melaporkan bahwa hingga 34.1% pasien yang mengalami SCI akan hidup dengan incomplete tetraplegia, 23% dengan complete paraplegia, 18.3% dengan complete tetraplegia, dan 18.5% dengan incomplete paraplegia. Hanya kurang dari 1% pasien dengan SCI yang cukup beruntung untuk mengalami recovery neurologis komplit.(5,10) Kebanyakan cedera di daerah thorakal menyebabkan complete SCI (73%), sedang cedera di daerah lumbal mengakibatkan incomplete SCI (79%).(2)
SCI pada manusia terutama diakibatkan oleh kombinasi dari tensile force atau gaya distraksi serta kontusio pada kolumna vertebra dan spinal cord itu sendiri. Gaya distraksi sering kali merupakan komponen integral dalam pathogenesis SCI, baik dalam kondisi traumatik maupun iatrogenik seperti pada saat tindakan intervensi tulang belakang.(4) Namun demikian belum banyak dibangun model ideal yang dapat meniru efek gaya distraksi pada spinal cord ini.
Kebanyakan pemahaman akan pathofisiologi serta tata laksana SCI didasari atau berawal dari temuan pada hewan coba yang digunakan sebagai model bagi SCI. Kebanyakan SCI termasuk yang terjadi pada saat operasi tulang belakang umumnya bersifat bireksional, sehingga model distraksi yang dapat meniru sifat bidireksional ini akan lebih dapat merefleksikan efek distraksi pada SCI yang timbul pada saat operasi intervensi tulang belakang.(4)
Tindakan bedah yang memanipulasi tulang belakang memiliki resiko tersendiri untuk terjadinya SCI intraoperatif. Koreksi deformitas skoliosis serta stabilisasi tulang belakang menggunakan instrumentasi seperti fixation rods, seringkali melibatkan gaya distraksi yang dalam besar yang cukup signifikan yang berpotensi menyebabkan terjadinya SCI iatrogenik.(3)
SCI yang terjadi pada prosedur ini dapat disebabkan oleh kompresi spinal cord akibat translasi dari vertebra, kinking dari spinal cord, buckling dari dura, hipoksia akibat ligasi pembuluh darah segmental dan menurunnya tekanan darah selama operasi, serta stretching atau distraksi langsung pada spinal cord saat koreksi deformitas.(3) Jika berlebihan, gaya distraksi ini dapat mengakibatkan defisit neurologis bahkan paralisis, yang masih terjadi pada 1-2% operasi tulang belakang. Pencegahan terjadinya SCI iatrogenik sebagai salah satu resiko penting dalam operasi atau prosedur tulang belakang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.
Menilik tingginya derajat kecacatan dan bahkan kematian akibat kerusakan irreversibel yang dapat terjadi pada SCI, pencegahan terhadap terjadinya cedera ini sangatlah berharga baik dalam transportasi, tempat bekerja, olahraga, serta intraoperatif atau SCI iatrogenik. Jika memungkinkan, monitoring elektrofisiologi intraoperatif sangat berguna untuk mendeteksi dan mencegah terjadinga SCI iatrogenik ini. MEP yang diukur melalui stimulasi kortikal transkranial (TcMEP) dapat memberikan sarana deteksi dini ini.
Walaupun intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring dapat sangat membantu dalam identifikasi gangguan neurologis akut intraoperatif sehingga dapat membantu mencegah atau setidaknya membatasi kejadian SCI iatrogenik, pemeriksaan ini belum bisa rutin dilakukan di semua rumah sakit karena relatif masih mahalnya alat, terbatasnya ketersediaan, serta dibutuhkannya personel terlatih untuk melaksanakan monitoring intraoperatif bersangkutan, terutama di negara-negara dengan sarana yang masih terbatas.(4,33).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara besar gaya distraksi yang diberikan pada spinal cord kelinci coba dengan timbulnya gangguan neurologis serta perubahan histopathologis yang ditimbulkannya. Dalam penelitian ini, penulis mengajukan model SCI pada kelinci sebagai hewan coba dengan mengaplikasikan gaya distraksi pada spinal cord lumbal menggunakan alat distraktor yang telah diukur dan dikalibrasi, dan pada saat yang sama mengukur besaran perubahan amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) yang terjadi yang menggambarkan gangguan neurokonduksi yang terjadi secara real-time.(33) Gangguan neurologis juga diobservasi secara klinis, dan perubahan histopathologis akibat cedera pada spinal cord diteliti melalui pemeriksaan histopathologis setelah spinal cord melalui proses harvesting. Penelitian ini juga membandingkan hasilnya dengan hasil penelitian oleh kolega dr. Robin Novriansyah yang mempelajari efek distraksi pada spinal cord regio thorakal(35), dengan tujuan untuk membandingkan kerentanan antara kedua level spinal cord terhadap gaya distraksi selama prosedur intervensi tulang belakang.
Metode: Dua puluh kelinci jantan galur New Zealand dengan berat 3.000-3500 gram yang dibagi menjadi 4 kelompok intervensi (amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, 40-20%, dan 20-0% (flat) dari amplitudo baseline awal sebelum dilakukan distraksi) dan kelompok kontrol digunakan dalam penelitian ini. Gaya distraksi diberikan intraoperatif menggunakan midline posterior approach pada vertebra lumbal L1-L2 menggunakan alat distraktor yang telah menjalani uji konstanta dan kalibrasi, dimana untuk tiap 1 milimeter peregangan pada alat ini diperlukan gaya distraksi sebesar 16.29 Newton. Monitoring TcMEP intraoperatif diukur pada tiap milimeter distraksi yang diberikan pada masing-masing kelompok intervensi. Gangguan motorik dimonitor pasca operasi, dan pada hari ke-10 dilakukan spinal cord harvesting yang kemudian dinilai secara histopathologis untuk mempelajari perubahan selular maupun struktural yang terjadi.
Hasil: Ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Di antara kelompok intervensi juga ditemukan perbedaan yang berbeda secara bermakna secara statistik dalam hal penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis yang terjadi.
Jarak minimum sebesar 18 mm yang sesuai dengan gaya distraksi sebesar 293.22 Newton diperlukan untuk mencapai terjadinya amplitudo TcMEP 0% (flat). Gangguan neurologis ini ditemukan reversibel walaupun ditemukan perubahan iskhemik dengan edema, iskhemia, degenerasi, nekrosis, serta gliosis derajatnya bersesuaian dengan besar distraksi.
Menggunakan uji statistik regresi linear pada monitoring perubahan amplitudo TcMEP pada setiap pertambahan jarak distraksi yang dikenakan pada spinal cord lumbal kelinci coba, melalui penelitian ini didapatkan bahwa hubungan antara jarak distraksi (D) dalam satuan milimeter (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada kelinci coba dapat diformulasikan sebagai berikut :
aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D)
Dengan :
aTcMEP = Amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential
D = Distraction Distance dalam satuan milimeter (mm)
Dibandingkan dengan kelompok intervensi dari kelompok spinal cord level thorakal, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada gaya distraksi yang diperlukan untuk menimbulkan penurunan amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, dan 40-20%.
Diskusi: Derajat distraksi yang direfleksikan dalam jarak dan gaya yang diaplikasikan pada spinal cord regio lumbal akan mengakibatkan timbulnya gangguan neurokonduksi yang bersesuaian dengan besarnya distraksi, yang tercermin pada derajat penurunan amplitudo TcMEP yang terjadi. Derajat ini juga bersesuaian dengan derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan jaringan spinal cord secara histopathologis yang terjadi.
Melalui rumus formulasi hubungan antara jarak distraksi (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada model kelinci coba yang didapatkan yaitu aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D), diperlihatkan melalui penelitian ini bahwa perubahan amplitudo TcMEP yang menggambarkan perubahan status neurologis yang terjadi akibat distraksi pada kelinci coba adalah mungkin untuk diperkiraan, sehingga dengan penelitian lebih lanjut mengenai spinal cord, dapat dibangun suatu formulasi yang dapat menjadi perangkat yang berharga bagi ahli bedah dalam operasi intervensi tulang belakang dalam keadaan tanpa alat intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring.
Seperti yang terwakili dalam perbedaan besar gaya distraksi yang diperlukan untuk mencapai derajat gangguan neurologis dan kerusakan jarimgan spinal cord secara histopathologis yang bersesuaian, spinal cord regio lumbal menunjukkan ketahanan yang lebih besar atau lebih tidak rentan terhadap gaya distraksi jika dibandingkan dengan spinal cord regio thorakal.
Kesimpulan: Penelitian ini mengajukan model seberapa besar suatu distraksi diperkirakan masih bisa dianggap aman dengan resiko cedera yang seminimal mungkin secara struktural maupun fungsional pada spinal cord regio lumbal walaupun tanpa bantuan perangkat monitoring neurodiagnostik intraoperatif.
Dengan meningkatnya pemahaman akan biomekanika dan pathofisiologi SCI serta perubahan biokimia dan selular yang terjadi di dalamnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi tidak hanya bagi penelitian mendatang mengenai tata laksana SCI serta potensi recovery-nya, namun juga yang paling penting, bagi upaya ke arah pencegahan SCI iatrogenik, terutama selama prosedur intervensi tulang belakang., Introduction: Acute traumatic spinal cord injury (SCI) is a catastrophic, devastating, life-altering event, with loss of function and poor long-term prognosis, which consequences often persist for life, both for the patient, family, and society at large.(6,7) It is marked by a complex motoric, sensoric, and autonomous disfunction, with severity that mirrors the degree of injury to the neurons of the Central Neural System (CNS), ranging from the foramen magnum to the lowermost spinal regions.
The incidence of traumatic spinal cord injury is approximately 40 SCIs per million persons per year. Traumatic SCI is reported to occur by motor vehicle and workplace accident, falls, violence, sports accident, and other sources of trauma (7%), including iatrogenic cause during spine surgeries.(5) In USA, Europe and Japan, its incidence reaches approximately 30.000 persons per year, and becomes a mainstay for health problem for more than 500.000 patients around the globe. In Asia Pacific regio, a staggering 300-400 new cases have been reported annually, with peak incidence at 28.6 year of age, and approximately half of these patients are of youth demographic, who supposedly at the most productive period of their lives.(6)
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research reporting that up to 34.1% patients with history of SCI will live their lives with incomplete tetraplegia, 23% with complete paraplegia, 18,3% with complete tetraplegia, and 18,5% with incomplete paraplegia, with only less than 1% will be lucky enough to gain complete neurological recovery.(5,10) Injury to the thoracic regio usually will cause a complete SCI (73%), while injury to lumbar regio commonly will cause a less severe or incomplete SCI (79%).(2)
SCI on human are mostly caused by combination of tensile force or distraction combined with contusion to vertebral coloumn and spinal cord itself. This distraction force is an integral component in SCI, whether in traumatic or iatrogenic milieu, yet there’s still lack of such an ideal model that capable of mimicking the effect of this force to the spinal cord.(4)
Most new understanding of pathophysiology and current treatment on SCI were based on studies on animal models, and most SCIs including ones that occur in spine surgeries are of bidirectional force, thus a distractor model on experimental animal that able to mimic this bidirectional force would be a more reliable model in mimicking the effect of distraction in SCI on human during spine surgeries.(4)
Spine surgery contributes its own risks to iatrogenic SCI. Procedures that involve intervention to the spine, e.g during curved spine deformity correction and stabilization of the spine using instrumentation such as fixation rods, oftenly involve application of significant amount of distraction force with its potential as a cause of iatrogenic SCI.(3)
Insults that contribute to SCI during spine intervention surgery include cord compression due to vertebral translation, cord kinking, dura buckling, hypoxia secondary to segmental blood vessel ligation and decreased blood pressure, ischemia, and/or direct spinal cord stretching due to distraction forces applied. If excessive, these distraction forces may result in neurological deficit even paralysis, that still occurs in 1-2% of spine surgeries. Prevention to iatrogenic SCI as an important risk in spine surgeries would be the focus of this study.(3)
Considering catastrophic impairment and even permanent paralysis caused by SCI, its prevention is of utmost importance in every possible milieu, not only in transportation, workplace, sports setting, but also intraoperative or iatrogenic SCI. When available, intraoperative electrophysiological monitoring could be very useful for the detection and prevention of iatrogenic SCI. Motor evoked potentials (MEP), obtained by transcranial cortical stimulation (TcMEP), can provide this early detection.
Eventhough intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring could be very beneficial in early identification of intraoperative neurological disturbance, and thus, is such a valuable tool in preventing the incidence or limiting the degree of severity of iatrogenic SCI during spine intervention surgery, its expensive costs and limited availability and the need for its specifically-trained personnels has made its application in each and every spine surgery is still limited, particularly in developing countries with limited resources.(4,33)
This experiment aims to study the correlation of the amount of distraction force applied to experimental animal lumbar spinal cord with its resulted neurological disturbances and histopathological changes. In this study, author proposes an SCI model by applying distraction force to experimental animal lumbar spinal cord using calibrated distractor device, at the same time, neurological disturbances were monitored intraoperatively using TcMEP that will show the degree of amplitude declination that represents its real-time neuroconduction disturbance.(33) Neurological disturbances were also observed clinically, and after spinal cord harvesting, histopathological changes due to injury to the spinal cord were also examined.
This experiment also compares its result with study of effect of distraction to the thoracic spinal cord in animal model performed by colleague Robin Novriansyah, MD(35), with aim to compare the vulnerability between the two spinal cord levels to distraction injury during spine intervention procedures.
Methods: Twenty male New Zealand experimental rabbits weighting 3.000-3.500 grams were divided into 4 intervention groups (80-60%, 60-40%, 40-20%, and 20-0% (flat) amplitude group compared to their baseline amplitude prior to distraction) and control group were used in this study. Distraction force were applied intraoperatively using midline posterior approach to the vertebra L1-L2 using calibrated spinal cord distraction device, in which a force of 16.29 Newton was required for each millimetre of distraction. Declination of Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) amplitude were measured for each millimetre of distraction applied to each intervention group. Motoric disturbances were also monitored post operatively, and on day 10, after spinal cord harvesting, the spinal cords were examined histopathologically for its degree of selullar and structural damages.
Results: We found that there were statistically significant differences (p<0,005) of TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between intervention groups and control group.
Among intervention groups, there were also statistically significant differences on TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between each intervention group.
A minimum distance of 18 millimetres of distraction equal to 293.22 Newton of distraction force was required to achieve a flat (0%) TcMEP amplitude in this animal model study. These neurological changes due to distraction force even in flat TcMEPs appear to be clinically reversible eventhough ischemic changes were histopathologically found, represented in the degree of severity of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings that correlate to the amount of distraction force applied.
Using statistical linear regression on careful TcMEP amplitude monitoring in each and every additional distraction distance applied to the experimental rabbits’ lumbar spinal cord, through this study we conclude that the relationship between distraction distance (mm) and TcMEP amplitude (aTcMEP) in rabbit animal model can be formulated as :
aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D)
When compared to the thoracic spinal cord study, there were statistically significant (p<0,05) differences of distraction force required in lumbar 80-60%, 60-40%, and 40-20% amplitude groups compared to the corresponding thoracic spinal cord groups.
Discussion: Degree of distraction reflected in its distance and force required to be applied to lumbar spinal cord in rabbit experimental model will cause a corresponding degree of neuroconduction disturbance represented in declination of its TcMEP amplitude. This degree also correlates with the degree of neurological disturbances clinically and the degree of histopathological changes in the injured spinal cord tissue represented in the degree of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings
Through the defined formula of relationship between distraction distance in millimeter unit applied with TcMEP : aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D) established in this experiment, it is shown that TcMEP amplitude changes that reflect the neurological disturbances due to the applied distraction on rabbit animal model can be predicted, thus through further future spinal cord study, valuable formulation could be established for surgeons during spine intervension surgery in the circumstance without the availability of an intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring device.
Represented in statistically significant more amount of distraction force required to achieve similar degree of neurological disturbance and histopathologically corresponding spinal cord tissue damage, the lumbar spinal cord apparently shows a less vulnerability to distraction force compared to the thoracic spinal cord.
Conclusion: This model offers orthopaedic surgeons an animal model of how far a distraction could still be considered safe with the least risk of injury to the spinal cord structurally and functionally, even without the help of intraoperative neuro-electrodiagnostic device.
With the increasing understanding of the biomechanics and pathophysiology of SCI, and also its biochemical and celullar changes, we hope that this study could share its contribution not only for future study of SCI treatment and its recovery potential, but also of utmost importance, to the prevention of iatrogenic SCI, particularly during spine intervention procedures such as during scoliosis deformity correction surgeries.]

 File Digital: 1

Shelf
 SP-widyastuti_srie_utami.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Tugas Akhir
No. Panggil : SP-Pdf
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : [Place of publication not identified]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten :
Tipe Media :
Tipe Carrier :
Deskripsi Fisik : xviii, 110 hlm. : ill. ; 28 cm. + lamp.
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
SP-Pdf TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20367190
Cover