Pertambangan mempunyai kekuatan yang signifikan untuk dikembangkan sebagai penggerak pembangunan di daerah terpencil dimana pertambangan itu berada. Namun, apabila kebergantungan daerah tersebut cukup besar pada pertambangan, pada suatu saat apabila kegiatan pertambangan berakhir maka dapat menyebabkan shock pada banyak aspek, misalnya terhentinya kegiatan perekonomian, pengangguran, meningkatnya kriminalitas, dan keresahan sosial lainnya.
Hasil Proses Hierarki Analisis menunjukkan bahwa pada perencanaan penutupan tambang yang menunjang pembangunan berkelanjutan, para pihak pemangku kepentingan sepakat faktor perlindungan dan kelestarian fungsi lingkungan mendapat bobot paling besar untuk diperhatikan, kemudian diikuti oleh pembangunan dan keberlanjutan ekonomi, serta sosial dan kesehatan masyarakat. Para pihak pemangku kepentingan sepakat bahwa penggunaan lahan bekas tambang diprioritaskan untuk kawasan perkebunan, dengan alternatif lain untuk dikembangkan adalah budidaya perairan Sena kawasan wisata. Pemerintah Daerah dan perusahaan tambang dipandang sebagai pihak yang mempunyai peran besar pada keberhasilan perencanaan dan plaksauaan penutupan tambang. Sektor pertanian menjadi sektor yang paling konvergen (sesuai) untuk menggantikan sektor pertambangan pada masa pasca tambaug.
Permodelan system dynamics menunjukkan bahwa kombinasi pengusahaan tanaman karet, kelapa sawit, dan hutan dengan dana investasi dari royalti batubara, dapat mendukung pembangunan berkelanjutan di wilayah Kabupaten Kutai Timur pada masa pasca tambang. Manfaat ekonomi dari penanaman hutan diperoleh dari kompensasi penyerapan karbon melalui Mekanisme Pembangunan Bersih, basil hutan non kayu, dan pemanenan hasil kayu secara berkelanjutan. Reinvestasi dari bagian pendapatan hasil tambang melalui mekanisme Dana lnvestasi Pembangunan Berkelanjutan (DIPB), mampu difungsikan sebagai MODAL untuk pembangunan berkelanjutan.
Daerah-daerah yang mempunyai kebergantungan yang tinggi pada hasil tambang, perlu menyusun kebijakan tentang alokasi pemanfaatan pendapatan dari pertambangan, agar pembangunan dapat berlaujut pada periode pasca tambang.
Mining industry has a significant potency as the prime mover of the development in the area where mining is developed, especially in remote area. But if the region too dependent on mining revenue, some day, whenever the mining is ceased it will shock some aspects; it could stop the economic activities, it will cause unemployment, the raise of crime, and some other social disquiets. Result of Analytical Hierarchy Process shows that factor of protection and continuation of environmental functions gets the largest portion to be concerned in mining closure plan that supporting the sustainable development, followed by the social, economic and public health development and continuation. Stakeholders agreed to define post mining land use for plantations and water preserve and also as a tourism site. Local Government and mining company were assumed have very important role on the efficacy ofthe planning and the practice of mining closure. In the period of post mining, agriculture sector is the most convergent sector to replacing the mining sector. Simulation with system dynamics shows that a combination of palm oil and rubber plantation, and forestry funded by invested fund ji-om the coal royalty, so called as Investment Fund for Sustainable Development, could support the sustainable development in the period of post mining. Economic rent from forestry obtained by compensation through Clean Development Mechanism, sustainable forest products, non timber forest products, and environmental services provided by forest. Reinvestment of fund generated from mineral royalty through Investment Fund for Sustainable Development is able to be functioned as CAPITAL for sustainable development. Regions with high dependency to mineral revenue, need to formulate policy with regard to mineral revenue allocation and utilization for supporting sustainable development in the post mining period.