ABSTRAKPenelitian ini bermula dari keprihatinan penulis terhadap representasi kaum minoritas (LGBT) di dalam media massa. Kelompok minor ini sering direpresentasikan dengan menyimpang dan menyudutkan. Namun, perkembangan media massa memunculkan kemungkinan baru untuk melakukan suara perlawanan, yakni dengan film pinggiran. Penelitian ini berfokus untuk melihat bagaimana film pinggiran dipergunakan untuk mejadi media alternatif untuk menjadi wadah suara resistensi masyarakat, baik oleh kaum gay maupun heteroseksual. Penulis akan melihat permasalahn ini dengan menggunakan perspektif dari Michel Foucault tentang praktik kuasa serta identitas gender dari Judith Butler. Dengan menggunakan metode Semiotika Film dari Christian Metz dalam model analisis semiotika dari Barthes, penulis menarik kesimpulan bahwa film pinggiran dengan segala karakteristiknya dapat menjadi media resistensi dari kaum gay untuk menyuarakan representasi yang lebih baik dan menyuarakan kebenaran yang mereka yakini. Kaum gay didapati lebih eksploratif dan mampu menggambarkan banyak hal, sedangkan kaum hetero merepresentasikan gay lebih secara hitam putih dan menyampaikan pemikirannya dalam dialog yang bersifat lebih kaku, kurang eksploratif.
ABSTRAKThis research begins with the writer’s concern about minority (LGBT) representation in the mass media. This minor group often represented falsely and tend to be cornering. On other hand, the mass media provide new medium to express the resisting voice from the minor by using the independent film. This research id focusing to identify the usage of the independent film to be an alternative to express the resisting voice, both from gay or heterosexual film maker. By using Foucault’s view on power practice and the gender identity by Judith Butler, I hope I could draw a conclusion on gender trouble and power practice in the related film. The semiotics of film by Christian Metz will be combined by Roland Barthes’ model of semiotics. I conclude that independent film is a great medium to express a resisting utterance to established normativity.
In my conclusion, I am finding that the gay film maker is having more audacity to explore a gay character, both from their life story and the way of thinking. On other hand, the heterosexual represent their gay character in way more rigid way, black and white and more likely using the plain dialogue, not really explorative.