Studi tentang interseksi antara budaya dan kejahatan merupakan minat yang terus mendapat perhatian di dalam Kriminologi. Budaya dan kejahatan, dalam konteks tertentu, merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Dalam pandangan mainstream hal ini kerap diletakkan dalam kerangka sub-budaya dan cendrrung dipertentangkan dengan budaya mainstream. Kriminologi budaya justru memberi ruang pemahaman yang melihat dan memperlakukan sub budaya semacam ini sebagai budaya yang otonom. Paradigma ini digunakan penulis untuk mencermati fenomena duta Kayuagung sebagai bentuk budaya kejahatan. Duta Kayuagung merupakan budaya kejahatan yang muncul sebagai tanggapan orang Kayuagung atas ketimpangan antara keinginan mencapai tujuan-tujuan budaya dengan keterbatasan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Proses kemunculan duta berkaitan dengan transformasi cara orang Kayuagung mencari penghidupan dengan merantau melalui berdagang dengan perahu kajang. Transformasi ini berlangsung seiring proses internalisasi terhadap kondisi eksternal yang dihadapi orang Kayuagung yang berkaitan dengan dinamika perubahan di sekelilingnya. Duta Kayuagung mengalami kesinambungan karena bersifat dinamis dan adaptif terhadap kondisi eksternal yang dihadapi masyarakat Kayuagung. Proses transmisi nilai-nilai duta juga berlangsung dalam bergam aktifitas budaya masyarakat Kayuagung. Duta memiliki peranan sebagai sarana kontestasi bagi masyarakat Kayuagung terutama untuk bersanding dan bertanding dengan masyarakat di luar Kayuagung. Teori yang dijadikan landasan dalam disertasi ini adalah Teori Anomi dari Merton, Teori Transmisi Budaya dari Shaw dan McKay, Teori Demonisasi dari Stanley Cohen dan Teori Practice dari Pierre Boudieu. Metode yang digunakan adalah metode Ginealogi dari Michel Foucault. Kesimpulan disertasi ini adalah praktik duta merupakan bentuk adaptasi atas ketimpangan struktural yang mengalami pelembagaan sehingga menjadi budaya, kesinambungan terjadi karena adanya transmisi nilai-nilai antar generasi dengan menggunakan lahan sosial budaya. Duta merupakan sarana bagi orang Kayuagung untuk mendapatkan posisiposisi sosial dalam konteks kontestasi sesama orang Kayuagung dan bahkan dengan masyarakat di luar Kayuagung.
Studies on the intersection between culture and crimes are interests that continue to get attention in Criminology. Culture and crimes, in certain contexts, are two things that affect each other. It is, in the context of mainstream, often placed in the framework of sub-cultural and tends to be contrasted with the cultural mainstream. Cultural criminology, in fact, gives an understanding space which sees and treats such sub-culture as an autonomous culture. Such paradigm is used by the author to examine the phenomenon of Kayuagung Duta as a form of a criminal culture. Kayuagung Duta constitutes a criminal culture emerging as responses of Kayuagung community to the imbalances between the desire of achieving cultural objectives and the limitations of ways to achieve the objectives. The process of the emergence of duta deals with the transformation of the ways of Kayuagung community making lives by sailing using Kajang boats. Such transformation takes place as the process of internalization of the external conditions faced by Kayuagung community related to the dynamics of change around them. Kayuagung duta runs continuously due to its good dynamics and adaptation to the external conditions faced by Kayuagung community. The transmission processes of duta values also occur in various cultural activities of Kayuagung community. Duta functions as a tool of contestation for Kayuagung community, especially for being equal and competing with outsiders. The author employs various theories, such as Anomie theory of Merton, theory of Cultural Transmission of Shaw and McKay, Demonization theory of Stanley Cohen and Practice theory of Pierre Boudieu. The author also employs the method of Gynealogi of Michel Foucault. The results of the research reveal that the practice of duta is a form of an adaptation on the structural imbalances that experiences an institutional process to become a culture. The continuity happens because of the transmission of values from one generation to the next generation in the social and cultural fields. Duta constitutes a means for Kayuagung community for achieving social positions in the context of contestation with other Kayuagung people and even with outsiders.