ABSTRAKDengan meningkatnya kebutuhan energi listrik yang signifikan di Indonesia,
diperlukan sumber energi lain untuk dapat mengganti peran bahan bakar fosil yang
akan habis sebagai sumber energi listrik. Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
(PLTSa) yang menggunakan landfill gas (LFG) sebagai sumber energi dapat
memberikan solusi dalam memenuhi kebutuhan listrik. Kekurangan LFG adalah
karakteristik produksinya yang terus menurun dengan berjalannya waktu. Penelitian
ini membahas model pembangunan PLTSa secara berkelanjutan dari sisi ekonomi.
Ada dua model yang diajukan, model 1 melakukan penimbunan sampah selama satu
periode saja (4 tahun) dan tidak ada lagi pembukaan lahan dan penimbunan sampah,
sedangkan model 2 melakukan penimbunan sampah setiap empat tahun sekali
dimana dilakukan lagi pembukaan lahan. Parameter yang digunakan dalam studi
kelayakan ini adalah Benefit-Cost ratio dan Net Present Value. Berdasarkan hasil
analisis, model yang layak secara ekonomi adalah model 2 dengan B/C Ratio 1.16
dan NPV Rp.9,015,502,964, dimana pengolahan sampah dilakukan secara
berkelanjutan, sedangkan model 1 dengan B/C Ratio 0.91 dan NPV
Rp.3,848,278,544, belum layak secara ekonomi dan belum menguntungkan
ABSTRAKWith the increasing demand of electrical energy in indonesia, another source of
energy required to be able to replace the roles of fossil fuels as the main source of
electrical energy. Waste power plant with landfill gas (LFG) as a source of energy
can provide solutions in fulfilling the need for electricity. The disadvantages of
LFG is the characteristic of gas production continues to decline over time. This
research discusses the development model of sustainable waste power plant from
economic view. This research propose two models, model 1 conducting the
landfilling in one periode (4 years) only. Model 2 conducting the landfilling every
4 years by opening more area. The parameters used in this feasibility study are
benefit-cost ratio and net present value. As the results, the model that
economically feasible is model 2 with B/C Ratio 1.16 and NPV
Rp.9,015,502,964, while the model 1 with B/C Ratio 0.91 and NPV
Rp.3,848,278,544, is not economically feasible.