ABSTRAKKonsep nominee pada kepemilikan saham telah lama berkembang di Indonesia,
dimana pada konsep ini didasarkan kepada asas kebebasan berkontrak dan adanya
hukum terbuka pada hukum perjanjian di Indonesia. Namun setelah diundangkannya
Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal telah
ditegaskan mengenai pelarangan terjadinya praktek nominee tersebut pada pasal 33
angka (1) dan (2). Kemudian dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata diatur
mengenai syarat sah perjanjian dimana salah satunya adalah ‘sebab yang halal’.
Dengan adanya ketentuan tersebut maka perjanjian nominee adalah perjanjian yang
batal demi hukum. Dalam prakteknya tersebut, berlakunya nominee sering dilakukan
sebagai penyelundupan hukum. Hal ini disebabkan karena tidak dicantumkan secara
tegas larangan terhadap saham nominee di dalam Undang – Undang Perseroan
Terbatas serta pengawasan yang kurang oleh institusi penegak hukum di Indonesia.
ABSTRACTNominee concept in shareholding practice has been known and adapt for a long time
in Indonesia. This concept is based on the principle of freedom of contract as well as
the open systems in the Indonesian law of treaties. After the enactment of ‘Undang –
Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal’ the prohibition of
nominee practice in Indonesia was emphasized in article 33 paragraph 1 and
2.‘KUHPerdata’ regulates the conditions for valid agreement where one of the
conditions is ‘legal cause’. With these provisions nominee agreements are null and
void. The causes of these problems are there are no explicit regulation on nominee
agreements and shares in the Indonesian Corporate Law as well as lack of supervision
by the law enforcers of Indonesia.