ABSTRAKSkripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah
pengertian dari asas kehati-hatian serta bagaimana kaitannya dengan asas tindakan
pencegahan?; 2) Bagaimanakah perbandingan antara asas kehati-hatian dengan
asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem yang dikenal dalam Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)?; dan 3) Bagaimanakah kekuatan
mengatur (normatif) dari asas kehati-hatian di Indonesia dan implementasinya
dalam tindakan penempatan tailing di dasar laut?
Bentuk penulisan skripsi ini adalah penulisan yuridis normatif dengan
metode penelitian kepustakaan dan metode perbandingan. Analisis didasarkan
pada studi literatur mengenai perkembangan teori dan pengaturan asas kehatihatian,
dengan meninjau sumber hukum yang mengikat di Indonesia, baik yang
merupakan regulasi nasional maupun internasional. Selain regulasi yang
mengikat, putusan-putusan pengadilan juga dijadikan sumber penulisan.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, penulis menganalisis perihal
pengertian dan kekuatan mengatur dari asas kehati-hatian dalam hukum
lingkungan Indonesia serta penerapannya di dalam tindakan penempatan tailing di
dasar laut. Di dalam analisis, penulis menganalisis putusan PTUN Jakarta antara
Walhi sebagai Penggugat dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
sebagi Tergugat dalam sengketa izin penempatan tailing di Teluk Senunu.
Terhadap putusan tersebut, terlihat dalam analisis penulis bahwa: 1) pandangan
yang memandang asas kehati-hatian merupakan asas yang tidak bisa dijadikan
alasan gugatan dan alat uji yuridis bagi hakim merupakan pandangan yang keliru;
2) asas kehati-hatian memiliki bobot atau kepentingan yang lebih besar
dibandingkan dengan asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem; 3)
penempatan tailing di Teluk Senunu diliputi dengan ketidakpastian ilmiah,
khususnya mengenai probabilitas terjadinya dampak kerusakan lingkungan di
bagian laut dangkal dari Teluk Senunu. Selain itu, besaran dampak kerusakan
lingkungan yang dapat terjadi di Teluk Senunu akan sulit untuk dikembalikan
seperti semula dan juga dapat menjadi bencana yang besar bagi masyarakat
sekitarnya; dan 4) asas kehati-hatian mengakui adanya unsur ketidakpastian
ilmiah sehingga adanya partisipasi publik yang nyata dalam pengambilan
keputusan merupakan tujuan dari asas kehati-hatian.
Skripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: 1) Apakah
pengertian dari asas kehati-hatian serta bagaimana kaitannya dengan asas tindakan
pencegahan?; 2) Bagaimanakah perbandingan antara asas kehati-hatian dengan
asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem yang dikenal dalam Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)?; dan 3) Bagaimanakah kekuatan
mengatur (normatif) dari asas kehati-hatian di Indonesia dan implementasinya
dalam tindakan penempatan tailing di dasar laut?
Bentuk penulisan skripsi ini adalah penulisan yuridis normatif dengan
metode penelitian kepustakaan dan metode perbandingan. Analisis didasarkan
pada studi literatur mengenai perkembangan teori dan pengaturan asas kehatihatian,
dengan meninjau sumber hukum yang mengikat di Indonesia, baik yang
merupakan regulasi nasional maupun internasional. Selain regulasi yang
mengikat, putusan-putusan pengadilan juga dijadikan sumber penulisan.
Berdasarkan sumber-sumber tersebut, penulis menganalisis perihal
pengertian dan kekuatan mengatur dari asas kehati-hatian dalam hukum
lingkungan Indonesia serta penerapannya di dalam tindakan penempatan tailing di
dasar laut. Di dalam analisis, penulis menganalisis putusan PTUN Jakarta antara
Walhi sebagai Penggugat dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia
sebagi Tergugat dalam sengketa izin penempatan tailing di Teluk Senunu.
Terhadap putusan tersebut, terlihat dalam analisis penulis bahwa: 1) pandangan
yang memandang asas kehati-hatian merupakan asas yang tidak bisa dijadikan
alasan gugatan dan alat uji yuridis bagi hakim merupakan pandangan yang keliru;
2) asas kehati-hatian memiliki bobot atau kepentingan yang lebih besar
dibandingkan dengan asas pertimbangan dan asas audi et alteram partem; 3)
penempatan tailing di Teluk Senunu diliputi dengan ketidakpastian ilmiah,
khususnya mengenai probabilitas terjadinya dampak kerusakan lingkungan di
bagian laut dangkal dari Teluk Senunu. Selain itu, besaran dampak kerusakan
lingkungan yang dapat terjadi di Teluk Senunu akan sulit untuk dikembalikan
seperti semula dan juga dapat menjadi bencana yang besar bagi masyarakat
sekitarnya; dan 4) asas kehati-hatian mengakui adanya unsur ketidakpastian
ilmiah sehingga adanya partisipasi publik yang nyata dalam pengambilan
keputusan merupakan tujuan dari asas kehati-hatian.
ABSTRACTThis undergraduate thesis tries to answer this following questions: 1) What is definition of precautionary principle and how does the correlation between precautionary principle and peinciple of preventive action?; 2) How does the comparison between precautionary principle and consideration principle and audi et alteram partem principle?; and 3) How does the normativity level of precautionary principle in Indonesia and its implementation in submarine tailing disposal? This undergradute thesis. Analysis is based on literature study concerning development of theory and regulation on precautionary principle, considering enacted law in Indonesia, either national or international regulation. Beside the enacted law, case law is source of this writing. The author analyse normativity level of precautionary principle in Indonesian environmetal law and its implementation in submarine tailing disposal. The author analyses one case law, Walhi, et. al., vs Environmental Minister of RI, on a dispute of submarine tailing disposal in Senunu Bay permit given to PT. Newmont Nusa Tenggara. Based on that case, it is concluded that: 1) consideration from the judges that consider precautionary principle cannot become a reason of suit and legal test instrument is erroneous; 2) precautionary principle has a dimension of weight that is weightier than consideration principle and audi et alteram partem principle; 3) submarine tailing disposal in Senunu Bay is encompassed with scientific uncertainty, specifically in the aspect of probability of environmental impact in the shallow water of Senunu Bay. Beside that, the magnitude of harm that can happen in Senunu Bay is irreversible and catastrophic; and 4) precautionary principle recognizes the element of scientific uncertainty, so, the implementation of the principle requires a real public participation in decision making. In brief, the conclusion shows that the meaning of precautionary principle as a legal principle is understood in a wrong way by judges in PTUN Jakarta. Futhermore, the judges do not recognize the normativity element of precautionary principle in Indonesian environmental law. Whereas, submarine tailing disposal is an activity encompassed with scientific uncertainty, so precautionary principle is a suitable principle to become basis of consideration for judges.