ABSTRAK Diskursus tentang institusi Wali Nanggroe di Aceh mulai mencuat pasca perdamaian GAM dan pemerintah Indonesia. Gelar Wali Nanggroe yang sebelumnya melekat pada sosok kharismatik Hasan Tiro berpindah menjadi sebuah institusi adat. Beberapa penelitian sebelumnya melihat bahwa Wali Nanggroe merupakan produk kultural yang diperoleh Hasan Tiro secara turun temurun. Namun studi ini mengungkapkan gejala rutinisasi kharisma dari institusi Wali Nanggroe yang merupakan produk politik pasca perdamaian. Pertanyaan utama dalam studi ini adalah tentang peran Wali Nanggroe setelah terbentuk sebagai institusi, dan reaksi berbagai kalangan masyarakat terhadap kehadiran institusi tersebut. Proses pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara, observasi, dan dokumenter, sedangkan informan dipilih dengan metode purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rutinisasi kharisma dari institusi Wali Nanggroe dilakukan melalui langkah-langkah politik, yaitu dengan adanya kekuatan konstitusi sebagai dasar bagi pembentukan institusi tersebut. Namun kemudian muncul persoalan bahwa individu yang menggantikan Hasan Tiro dianggap tidak memiliki kharisma, sehingga mengurangi kekuatan legitimasi dari institusi Wali Nanggroe. Hal itu kemudian menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan masyarakat, dan ikut mempengaruhi kelompok basis sosial, bukan hanya kelompok pendukung, namun juga pengikut setia Hasan Tiro.
ABSTRACTDiscourse about institution of Wali Nanggroe in Aceh beginning after reconciliation between GAM and the Indonesian government. Wali Nanggroe in previously attached to the charismatic figure of Hasan Tiro, moved into a traditional institution. In several previous studies, Wali Nanggroe is a cultural product that obtained to Hasan Tiro hereditary. But this study noted that institution of Wali Nanggroe is a politic product of post-peace. Here, institution of Wali Nanggroe is routinization of charisma Hasan Tiro. So, the main question in his study is about the role of Wali Nanggroe after being formed as an institution, and then to describe the reaction of various circles of society to the presence of the institution. Then, the process of data collection conducted by interview, observation, and documentaries, while the informant chosen by purposive sampling method.
The results showed that the routinization of charisma of institutions Wali Nanggroe done through political measures, namely the existence of the power of the constitution as the basis for the establishment of the institution. But then came the problem that the individual who replaces Hasan Tiro is considered not to have charisma, thus reducing the strength of the legitimacy of institutions Wali Nanggroe. It was then elicit a reaction from various circles of society, and the influence of social group basis, not just a support group, but also loyal followers of Hasan Tiro.