ABSTRAKJurnal ini membahas mengenai kekerasan verbal yang dilakukan oleh Florence dan Kemal di media sosial. Penulis mengumpulan data melalui data sekunder, melalui pengamatan terhadap kedua kasus di media sosial Path dan Twitter. Jika dikaitkan dengan teori Atribusi (penyebab prilaku). Florence memiliki orientasi budaya yang berbeda (Konteks Budaya Rendah) dengan penduduk asli Jogyakarta (Konteks Budaya Tinggi). Adanya perbedaan konteks budaya ini menimbulkan konflik antar budaya. Sedangkan Kemal lebih memanfaatlkan kekuatan media sosial yang memfasilitasi orang untuk mengekspresikan apapun, dengan mengabaikan batasan nilai dan norma budaya. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dampak lebih jauh dari terjadinya kekerasan verbal di media sosial adalah terjadinya cyber bullying dikalangan pengguna media sosial yang memberikan tanggapan yang negatif atas kedua kasus tersebut.
ABSTRACTThis journal examines verbal abuse in social media which was done by Florence and Kemal. Using secondary data, I observed both cases on Path and twitter. According to the Attribution Theory, Florence has a culture orientation distinct from locals (Jogja and Bandung). This difference inflicting intercultural conflict. On the other hand, Kemal misused the power of social media by neglecting the boundaries of cultural norms and values. From result of analysis, it can be concluded that cyber bullying happened in both cases is an impact started by verbal abuse in social media.