Sudah sejak lama pemenuhan kebutuhan dana untuk keperluan masyarakat lapisan bawah berupa upacara adat, kenduri, musibah, pendidikan, khitanan hingga modal usaha mikro dan lain-lain, dilakukan oleh berbagai pihak penyedia dana yaitu lembaga keuangan bukan bank, bukan koperasi (LKB3-K) padahal ada peraturan lembaga yang dapat menarik uang dari masyarakat dan menyalurkan uang untuk masyarakat dilakukan oleh bank dan lembaga lain yang ditetapkan perundangan seperti koperasi jasa keuangan/simpan pinjam. Untuk itulah maka pada akhir 2012 DPR bersama pemerintah RI menyepakati UU no 1 tahun 2013 tentang Lembaga keuangan Mikro (LKM) yang merupakan formalisasi pelaku LKB3-K sehingga tidak terkesan “shadow banking”. Sebagai bentuk kompromi dan kesepakatan para pembuat UU maka kehadiran UU LKM tersebut nampaknya tidak serta merta membawa angin segar bagi para stakeholder. Namun demikian perlu ditelaah lebih detail dengan pendekatan multidisiplin ilmu yang dapat mengungkap catatan kritis yang pada hakekatnya dapat memberikan sumbangan dalam penyusunan peraturan pelaksanaannya yang sekaligus sebagai bagian dari skenario sosialisasi kebijakan LKM di Indonesia. Tulisan ini merupakan rangkuman dari studi pustaka, hasil observasi lapangan, ungkapan pengalaman pribadi serta interaksi dengan para pelaku LKM dan instansi terkait selama ini. Dari telaah ini terungkap adanya proses yang panjang dalam pembentukan UU LKM, perbedaan pengertian baru tentang LKM, terdapt kemungkinan moral hazard, peluang politisasi LKM, tantangan pada mekanisme pengawasan LKM, adanya puluhan ribu LKM yang bertransformasi menjadi koperasi.