Hubungan industrial merupakan suatu hubungan yang
terbentuk antara para pemangku kepentingan di dalam
proses produksi barang dan jasa yang memiliki dampak
sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara,
sehingga stablitasnya perlu dijaga dengan baik. Oleh
karena itu setiap putusan pengadilan hubungan industrial
haruslah tepat dan disertai rasa keadilan, akuntabilitas,
dan kejujuran, untuk menghindari timbulnya gejolak
dalam hubungan industrial. Putusan pengadilan
hubungan industrial yang tidak akuntabel, tidak jujur,
dan tidak mencerminkan rasa keadilan tentu akan
berdampak pada stabilitas proses produksi barang dan
jasa. Tulisan ini merupakan suatu kajian terhadap putusan
perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan
hubungan kerja yang telah diputus di tingkat kasasi oleh
Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 237 K/Pdt.
Sus/2012. Dalam putusan tersebut, majelis hakim dalam
pertimbangan hukumnya hanya menggunakan perjanjian
bersama yang telah dibuat oleh penggugat dan tergugat
pada saat penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit,
padahal perjanjian bersama tersebut isinya bertentangan
dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Penulis berkesimpulan bahwa putusan
hakim yang memeriksa perkara tersebut tidak tepat dalam
menggunakan pertimbangan hukum. Putusan Nomor
237 K/Pdt.Sus/2012 tersebut belum mencerminkan
adanya peradilan hubungan industrial yang akuntabel,
jujur, dan adil. Putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap tersebut tidak mencerminkan adanya kepastian
hukum dan keadilan hukum.