Dalam keadaan atau situasi segenting apapun fungsi-fungsi negara/kekuasaan negara tidak boleh absen. Oleh sebab itu menjadi penting suatu negara mempunyai pengaturan yang bersifat antisipatif guna menghadapi keadaan tidak normal atau situasi darurat yang serba mendesak, terutama bagi pejabat publik yang menjadi bagian dari penyelenggara negara, untuk memberikan dasar atas tindakan-tindakan yang harus dilakukan dalam jabatannya guna menghadapi situasi genting atau darurat tersebut.
Memasuki kuartal ke IV tahun 2008, Pemerintah memandang perekonomian Indonesia memasuki kondisi yang mengkhawatirkan. Mempertimbangkan kondisi makro ekonomi global dan domestik, dengan mengacu kepada Pasal 22 UUD 1945, maka Pemerintah menerbitkan 3 (tiga) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), salah satunya yaitu Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), yang memperjelas Protokol Manajemen Krisis Sistem Keuangan Indonesia, mengingat belum selesainya penyusunan RUU JPSK. Dalam perjalanannya, Perpu dimaksud baru dicabut pada tanggal 6 Agustus 2015, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK.
Pencabutan Perpu JPSK tersebut membawa implikasi terhadap pelaksanaan fungsi Bank Indonesia sebagai lender of last resort, yaitu mengakibatkan tidak adanya payung hukum yang mengatur mengenai jaring pengaman sistem keuangan, sehingga ada kekosongan hukum yang diperlukan untuk membentuk konstruksi yang sempurna bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi lender of last resort. Dengan kondisi yang demikian, dalam hal terjadi krisis di sistem keuangan dan terdapat bank yang mengalami kesulitan likuiditas dan berdampak sistemik, Bank Indonesia tidak dapat menjalankan fungsi sebagai lender of last resort dengan baik.
In any circumstance or urgent situation the functions of national/state power cannot be absent. Therefore becomes important to a country having regulation to face the emergency situation, especially for public officials who are part of the state, to provide the foundation for the actions that must be performed in order to confront his critical situation or emergency.
Entering the fourth quarter of 2008, the Government views the Indonesian economy entered a vulnerable phase. Considering the global and domestic macro economy, with reference to Article 22 UUD 1945, the Government issued three (3) of Government Regulation in Lieu of Law (decree), one of the decree No. 4 Year 2008 on the Financial System Safety Net (FSSN), which clarifies the Financial System Crisis Management Protocol Indonesia, particularly related to the authorities concerned and regarding the rights and obligations of the arrangement, given the completion of the drafting of laws FSSN. Along the way, the decree was revoked on August 6, 2015, through Act No. 11 of 2015 concerning Revocation of Government Regulation in Lieu of Law No. 4 of 2008 on FSSN.
Revocation of Exemption Law FSSN the implications of the implementation of Bank Indonesia function as a lender of last resort, which resulted in the absence of a legal framework governing the financial system safety net, so that there is a legal vacuum that needed to form a construction that is perfect for Bank Indonesia to perform the function of lender of last resort. With such conditions, in the event of a crisis in the financial system and some banks experiencing liquidity problems and systemic impact, Bank Indonesia cannot perform the function of lender of last resort as well.