ABSTRAKTesis ini membahas tentang dasar pengajuan permohonan praperadilan, pertimbangan hakim dalam mengabulkan atau mengabulkan permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dan apakah penetapan tersangka seharusnya masuk menjadi objek praperadilan pada pembaharuan hukum acara pidana. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan praperadilan, serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembahasan tesis dan pendekatan kasus yaitu empat putusan praperadilan mengenai penetapan tersangka. Data-data yang diperoleh kemudian diolah secara kualitatif dan diuraikan dalam bentuk kalimat sistematis.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dasar pengajuan yang digunakan oleh pemohon yaitu mengacu pada Pasal 28 D UUD 1945, Pasal 17 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Ratifikasi International Covenant On Civil and Political Right dan Pasal 95 KUHAP yang telah diperluas maknanya oleh para pemohon. Pertimbangan Hakim dalam mengabulkan permohonan tersebut yaitu bahwa belum ada bukti yang cukup saat termohon menetapkan pemohon sebagai tersangka. Hakim menyatakan bahwa bukti-bukti yang digunakan untuk menentukan seseorang sebagai tersangka, dapat diuji oleh praperadilan, sehingga hakim berkesimpulan bahwa praperadilan dapat menguji mengenai sah atau tidaknya penetapan status tersangka, sedangkan pertimbangan Hakim yang menolak permohonan tersebut yaitu karena KUHAP telah secara limitatif membatasi kewenangan praperadilan dan pengujian terhadap sah atau tidaknya penetapan tersangka tidak terdapat dalam Pasal 77 sebagai kewenangan praperadilan.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa penetapan tersangka merupakan tindakan yang bisa saja diikuti oleh upaya paksa, maka diperlukan sebuah lembaga untuk menguji tindakan tersebut dan dalam RKUHAP 2013, praperadilan akan diganti menjadi Hakim Pemeriksa Pendahuluan tetapi belum terdapat aturan mengenai pengujian penetapan status tersangka, maka seharusnya penetapan tersangka dimasukkan sebagai salah satu kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan tersebut.
ABSTRACTThis thesis discusses about the basic application for pre-trial, consideration of the judge to accepted or to refuse a pre-trial about the determination of the suspect and whether the determination status of the suspect should enter into the object on the renewal pre-trial criminal procedure. The method of this research is normative, which is a study of the legislation and legal literature and doctrine relating to pre-trial and using two approaches, namely the approach of legislation related to the discussion of the thesis and approach the case that the four pre-trial decision regarding determination of suspect. Subsequently, the obtained data is processed qualitatively and described in a systematic form of the sentence.Research results concluded that the basic filing used by the applicant which refers to Article 28 D of the 1945 Constitution, Article 17 of Law No. 39 of 1999 on Human Rights, The Ratification of The International Covenant On Civil and Political Rights and Article 95 of The Criminal Procedure Code (KUHAP) which has been expanded its meaning by the applicant. Consideration of the judge to accept the request, that because there is no sufficient evidence when the defendant named as a suspect, the judge stated that the evidence that used to determine a person as a suspect, can be tested by the pre-trial, so the judge concluded that pre-trial can test the validity of the determination status of the suspect, while the consideration of judge rejected the petition is because pre-trial in the criminal procedure code (KUHAP) has a limited authority, and examine of the validity of determination of the suspect is not contained in Article 77 as authority of pre-trial.The research results revealed that the determination of the suspect is an action that could be followed by forceful measures, so it needs an institute to examine such act and in RKUHAP 2013, pre-trial will be replaced by The Preliminary Examining Judge but doesn?t have authority to examine the determination of the status of the suspect, then the determination of the suspects should have been included as one of the authority of The Preliminary Examining Judge.