Disertasi ini membahas fenomena menarik yang terjadi di kalangan pesantren pasca reformasi, yaitu munculnya orang kaya baru dengan gaya hidup mewah, harta melimpah dan rumah mewah. Mereka berkeliling dari hotel berbintang satu ke hotel berbintang lainnya dengan mobil mewah. Selain itu, banyak diantara mereka yang menduduki jabatan tinggi negara, menjadi menteri, bupati, pemimpin parta bahkan ada yang jadi komisaris beberapa perusahaan besar.
Bagi penulis fenomena ini menarik untuk diteliti, karena komunitas pesantren selama ini dikenal sebagai komunitas agamis, kehidupannya sarat denga nilai, moral dan ajaran tentang hidup sederhana, empati pada sesama. Penulis mencurigai, di balik fenomena ini ada proses ekonomisasi agama, yaitu upaya mengkonversi simbol-simbol agama ke dalam berbagai bentuk material yang memiliki nilai ekonomis. Atas dasar ini maka penulis mengambi fenomena ini sebagai topik penelitian disertasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode partisipatif. Dan untuk penggalian data, penulis terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari para responden dan subyek penelitian. Subyek penelitian ini adalah para kiai pengasuh pondok pesantren, para orang dekat kiai, dan para agen yang terlibat dalam pertarungan untuk memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh para kiai dan komunitas pesantren.
Karena berkaitan dengan gaya hidup dan selera, penelitian ini menggunakan konsep Bourdieu mengenai ranah, habitus dan kapitalis sebagai pijakan untuk melakukan analisis terhadap fenomena yang diteliti. Selain itu penulis juga menjadikan beberapa hasil penelitian mengenai pesantren sebagai bahan rujukan sekaligus sebagai alat ukur untuk melakukan analisa.
Dari penelitian ini terlihat, bahwa telah terjadi proses konversi kapital simbolik agama ke dalam kapital ekonomi di kalangan komunitas pesantren. Proses ini dilakukan oleh orang-orang dekat kiai, yang memiliki hubungan spesifik dengan kiai sehingga memiliki akses terhadap beberapa kelompok atau aktor yang ingin memanfaatkan posisi dan otoritas kiai dan pesantren, untuk kepentingan ekonomi-politik. Hal ini terjadi karena kiai sebagai pemegang otoritas pesantren tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan yang transaksional dengan pihak lain. Kiai tidak dapat melakukan kapitalisasi atas berbagai kapital yang dimiliki, yang sebenarnya secara potensial memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Nilai-nilai dan habitus pesantren tidak memungkinkan kiai melakukan semua itu.
Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh para broker yang berasal dari komunitas pesantren itu sendiri. Para broker ini dengan mudah mengambil alih peran kiai untuk melakukan transaksi dengan memanfaatkan kapital simbolik yang dimiliki oleh para kiai, karena mereka memiliki hubungan yang dikat dengan kiai baik secara emosional maupun sosial, bahkan ada yanggenetik. Selain itu mereka juga berasal dari komunitas pesantren yang memahami habitus pesantren dan dianggap menjadi bagian dari pesantren, sehingga kiai sangat percaya pada mereka. Sementara itu, di sisi lain, kelompok kepentingan yang hendak mendekati pesantren merasa perlu memanfaatkan jasa mereka karena dianggap lebih memahami pesantren. Dengan demikian pendekatan dengan pesantren akan mudah dilakukan.
Proses konvensi ini ternyata menghasilkan keuntungan materi yang cukup banyak bagi broker, sehingga dari sini mulai terjadi perubahan haya hidup di kalangan mereka. Mereka tidak lagi menjadi komunitas modern dengan habitus metropolis dengan memanfaatkan kapital yang dimiliki oleh pesantren. Kelompok inilah yang oleh penulis sebut sebagai komunitas kelas transkultural, yaitu kelas yang muncul sebagai hasil perpaduan antara habitus pesantren dengan habitus modernis-metropolis, antara gaya hidup tradisional dengan gaya hidup pragmatis-hedonis.
Ada beberapa tipologi dan pola terbentuknya kelas transkultural ini. Pertama, pola affinitas yaitu melakukan pendekatan pada kiai sehingga pada titik tertentu dipercaya untuk melakukan konvensi terhadap kapital simbolik yang dimiliki oleh kiai dan pesantren. Kedua pola geneti yaitu mereka yang berasal dari keturunan atau keluarga kiai sehingga merasa berhak untuk melakukan transaksi dengan memanfaatkan kapital simbolik yang diliki oleh pesantren.
Secara sepintas kelas ini menguntungkan bagi pesantren karena bisa memperoleh kapital ekonomi/material yang bisa digunakan untuk pembiayaan pengelolaan pesantren. Namun dalam jangka panjang kelompok ini sangat berbahaya bagi eksistensi pesantren karena bisa menyebabkan terjadinya demoralisasi pesantren. Selain itu, secara faktual, keuntungan yang diterima pesantren tidak sebanding dengan yang diperoleh oleh kelas transkultural. Dengan demikian kelas transkultural ini sebenarnya sangat merugikan pesantren, karena tidak saja bisa mengancam eksistensi pesantren tetapi bisa menjadi "parasit sosial" bagi komunitas pesantren maupun sistem ekonomi.
Keberadaan kelas transkultural agama ini juga menunjukkan terjadi perubahan konstruksi sosial pesantren dari bipolar ; kiai-santri, menjadi multipolar, yaitu kiai, santri kelas transkultural dan kelompok kritik yang merupakan antithesis dari kelas transkultural. Dengan konstruksi sosial multipolar ini jelas akan terjadi relasi dan interaksi sosial dengan kiai kompleks dalam dunia pesantren pada masa-masa mendatang. Hal ini akan berpengaruh terhadap peran, posisi dan fungsi pesantren sebagai lembaga pendidikan agama. Sehingga dari sini perlu adanya reaktualisasi, reinterpretasi dan reformulasi terhadap berbagai ajaran, sistem nilai dan pemahaman keagamaan pesantren.