Perkembangan transisi demokrasi di Indonesia berjalan sangat pesat pasca dilakukannya amandemen UUD 1945. Salah satu perkembangan dalam bingkai politik ketatanegaraan ditandai dengan rumusan konstitusi yang memberikan kerangka dasar bernegara bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar rumusan tersebut maka suksesi kepemimpinan dalam cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif dilaksanakan secara langsung sebagaimana mandat Pasal 22 E ayat (2). Namun demikian dalam praktek ketatanegaraan pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemlihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menunjukkan hal yang inkonsisten dengan rumusan di dalam konstitusi. Sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 3 ayat (5) menyebutkan bahwa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pada akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa model pemilihan dimaksud inkonstitusional. Atas dasar itulah penilaian konstitusionalitas norma pemilihan serentak didasarkan pada metode tafsir konstitusi baik dari sisi original intent maupun tafsir sejarah. Desain konstitusional pemilihan umum serentak sebagaimana dimaksud lahir sebagai upaya untuk menggeser arah transisi demokrasi menuju pada penguatan sistem konsolidasi demokrasi agar praktek buram demokrasi langsung yang cenderung transaksional, koruptif, manipulatif, berbiaya tinggi dan melanggengkan kekuasaan dapat diminimalisasi dalam praktek ketatanegaraan yang berdimensikan pada paham demokrasi dan kedaulatan rakyat.