Banyak program kesehatan maternal dan neonatal yang dijalankan di Indonesia, namun angka Kematian Bayi di Indonesiamasih tinggi, karena angka kematian neonatal masih tetap tinggi dan penurunannya berjalan lambat, yang salah satu penyebabnya adalah karena asfiksia bayi baru lahir (BBL). Asfiksia BBL tidak akan menyebabkan kematian dika ditangani dengan baik dan tepat waktu oleh penolong persalinan. Namun demikian, ketersediaan alat, pengetahuan dan keterampilan bidan di desa (BdD) dalam mengenai dan menangani asfiksia BBL, masih rendah, padahal 66% persalinan di Indonesia sudah ditangani oleh tenaga kesehatan, yang 55% diantaranya dilakukan oleh bidan. Oleh sebab itu, pelatihan manajemen asfiksia BBL perlu diberikan kepada BdD sebagai penolong persalinan.
ujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak pelatihan manajemen asfiksia BBL terhadap ketrampilan BdD dan Angka Kematian Neonatal akibat asfiksia yang diteliti dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitaf. Pada penelitian kuantitatif digunakan desain kuasi eksperimen dengan metode time series, ang bertujuan untuk melihat dampak pelatihan manajemen asfikia BBL terhadap keterampilan BdD (diukur sebanyak 5 kali: sebelum pelatihan, segera setelah pelatihan, 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan setelah pelatihan) dan studi autopsi verbal dengan desain cross sectional, yang bertujuan untuk melihat dampak pelatihan manajemen asfiksia BBL terhadap Angka Kematian Neonatal akibat asfiksia. Desain kualitatif dengan metode studi kasus digunakan untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang pengalaman BdD dalam menangani kasus asfiksia BBL. Analisis yang digunakan adalah uji t berpasangan, analisis multilevel pada data longitudinal (LDA), chi square dan regresi logistik ganda.
Segera setelah pelatihan terjadi peningkatan nilai pengetahuan, sikap dan ketrampilan BdD dalam manajemen asfiksia BBL dibanding sebelum pelatihan dan nilai tersebut tetap dapat dipertahankan pada 6 bulan, 9 bulan dan 12 bulan setelah pelatihan. Peningkatan ketrampilan Bdd juga ditandai dengan semakin banyaknya BdD (60,1%) yang mampu menangani kasus asfiksia BBL, yang 89% diantaranya bernapas spontan dan teratur setelah diberikan langkah awal resusitasi dan ventilasi setiap 30 detik selama 2 menit. Faktor-faktor pada level pengukuran berulang, individu dan lingkungan memberikan konstribusi sebesar 62,4% terhadap variasi nilai ketrampilan antar BdD, sedangkan faktor yang mempengaruhi ketrampilan BdD adalah pengetahuan, sikap, pelatihan penyegaran, supervisi, jumlah kasus asfiksia BBL yang pernah ditangani dan angkatan pelatihan menurut wilayah.
Pelatihan manajemen asfiksia BBL kepada BdD mampu menurunkan rate kematian neonatal akibat asfiksi sebesar 46% (dari 5,0/1000 menjadi 2,7/1000 kelahiran hidup) dan menurunkan resiko kematian neonatal akibat asfiksia menjadi separuhnya dibanding sebelum pelatihan. kelahiran prematur, letak sungsang, dan ibu mengalami sesak napas pada waktu persalinan merupakan faktor penyulit yang berisiko menyebabkan terjadinya kematian neonatal akibat asfiksia, setelah dikontrol oleh pelatihan manajemen asfiksia BBL kepada BdD.
Asfiksia BBL merupakan kasus yang relatif jarang, oleh sebab itu, untuk mempertahankan ketrampilan BdD perlu dilakukan pelatihan penyegaran setiap 6 bulan dan supervisi setiap bulan yang disertai dengan pemberian umpan balik. Oleh karena persalinan di rumah oleh bidan di Indonesia masih tinggi, maka perluasan program pelatihan ini di kabupaten-kabupaten lain perlu dilakukan, sehingga Angka Kematian Neonatal dapat diturunkan dan tujuan pembangunan milenium ke-4 dapat tercapai.