Hubungan sipil-militer di setiap negara berbeda satu sama lain karena adanya perbedaan latar belakan perkembangan bangsa, bentu negara, ideologi, dan falsafah negara, dan budaya bangsa. Jenis hubungan sipil-militer bervariasi mencerminkan ideologi poitik, orientasi-orientasi, dan struktur organisasi modern. Hubungan sipil-militer di Indonesia sejak 1945-1998 mengalami pasang surut sejalan dengan sikap politik penguasa pemerintah, sikap, dan solidaritas kaum militer pada periode yang bersangkutan.
Dwifungsi ABRI merupakan salah satu doktrin dasr bagi ABRI dalam melaksanakan tugasnya khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan sipil-militer. Doktrin ini secara evolusi mengalami perkembangan sejak awal revolusi 1945. Dwifungsi ABRI memperoleh roh dans emangatnya pada masa gerilya antara Desember 1948 sampai Juli 1949, dimana saat itu TNI bersama PDRI di Bukittinggi mempertahankan keberadaan Republik yang masih muda. Doktrin ini kemudian secara perlahan berkembang dari era Soedirman (1945-1949), era Nasution (1958) sampai dengan era Soeharto (1966-1988).
Soeharto sebagai pendiri Orde Baru telah berperan sentral dan memberi warna dan bentuk hubungan sipil-militer yang dilaksanakan dengan doktrin Dwifungsi ABRI karena dia menduduki posisi kunci sudut pandang tersebut dalam studi ini dilakukan kajian untuk mengenali sejauh mana Soeharto (agency) mempengaruhi produk-produk peraturan-peraturan (struktur) tentang kedudukan militer dalam Negara sampai kepada saat dimana terjadi dominasi militer dalam politik di Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Kajian ilmu sejarah yang menggunakan metodologi strukturis sebagai sebuah kajian yang mengedepankan bagaimana kuatnya pengaruh human agency yang memberi bentuk pada perubahan struktur yang berupa peraturan-peraturan tentang kedudukan militer dalam Negara RI. kajian ini menjabarkan periodesasi hubungan sipil-militer dalam tiga periode yaitu: (1) 1966-1975, disebut periode pengendalian militer dengan patner (memupuk kekuasaan), (2) 1976-1988, disebut periode pengendaliaan militer dengan patner, dan (3) 1988-1998, disebut periode pengendalian militer tanpa patner. Studi ini penting dilakukan sebagai salah satu upaya untuk memaknai kembali kedudukan militer yang demikian dominan selama lebih dari tiga dekade, pada saat mana Republik ini sedang dalam pencarian bentuk demokrai yang cocok bagi bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila. Hasil kajian ini diharapkan dapat menumbuhkan inspirasi bagi generasi penerus bangsa, agar dapat menundukkan militer pada posisinya yang tepat sesuai jiwa dan semangat UUD 1945 dalam NKRI yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai demokrasi.
Dengan menggunakan teori sipil-militer Samuel P. Huntington dengan merujuk kepada model The Continuum of Military in Politics dari Claude E. Welch dan konsep kekuasaan dalam mempengaruhi proses perumusan dan implementasi Dwifungsi ABRI, sedemikian jauh, luas dan mendalam sehingga berdampak pada intensitas sifat dan corak hubungan sipil-militer di Indonesia ; kedua, hubungan sipl militer di Indonesia dalam era Soeharto, merupakan salah satu varian Subjective CIvilan Control; ketiga, terdapat tiga perbedaan prinsip pandangan antara Nasution dengan Soeharto mengenai Dwifungsi ABRI yang disebabkan adanya beberapa faktor yang berpengaruh antara lain perbedaan latar belakang budaya, pendidikan, pengalaman, dan cara pandang; keempat, Soeharto sangat dipengaruhi nilai-nilai budaya Jawa dalam pelaksanaan kekuasaan dan penerapan kepemimpinannya; dan kelima, Dwifungsi ABRI digugat karena adanya faktor-faktor dari luar dan dari dalam negeri, khususnya karena implementasinya yang demikian meluas dan mendalam, serta pemanfaatannya oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya.
The relationships between civil and military varies in every country because of the difference of the nation's background, the shape ol the country, the ideology and philosophy, and the culture of the nation- The variation of civil-military relationships reflected the political ideology, orientations, and the modern structure of organization, The relationships of civil military in Indonesia since 1945 ~ 1998 went ups and downs in accordance to the political attitude of the ruling government, the attitude and solidity of the military community ln that period.ABRI double-function is one of the doctrines of ABR! to lullil their duties especially in compliance with civil-military relationships. This doctrine developed evolutionary since the beginning of the 1945 revolution. ABRI double-function was motivated during the 'guerrila?s era", between December 1948 and July 1949, when TNI together with PDRI defended the existence of this new and young Republic, in Bukittinggi, West Sumatera. The doctrine then developed slowly in the era of Soedirman (1945-1949), the era of Nasution (1958), until the era of Soeharto (1966-1998).Soeharto, as the founder of the New Order. played as the central role in shaping and colouring the civil-military relationships that acted upon the ABRI double-function doctrine, because Soeharto was in the key position as the President of Republic indonesia, as ABRI Commander-in-chief, and as a more than three period Mandatory of MPR Rl. From this point of view. this study is trying to analyze Soehands deeply influence in the products of regulations about the military position in the country until the military domination in politics in Indonesia for more than three decades.The study of the history using structurist methodology was a study that brought up the strong influence of human agency that gave shape to the change of structure of regulations about the position of military in the Republic of Indonesia. This study explained the periodicity about the relationship between civil-military : (1) 1966-1975, as the period of military with partner { to strengthen power), (2) 1976-1988, still as the period of military with partner, (3) 1988-1998, as the period of military without partner. This important study has done as an effort to signify the military position that had been so dominant for more than three decades, while this Republic was looking for the come out best democratic system for the nation, as it has Pancasila as its philosophy. We hope this analysis will develop an inspiration to the young generation to put military in accurate position in accordance to the morale of UUD 1945 in NKRI that uphold law and democratic values.With applying the theory of civil-military relationships of Samuel P. Huntington, and with references of The Continuum of Military Involvement in Politics model of Claude E.Wetch, the concept of power in Javanese tradition, and the concept of ABRI double- function, this analysis will uncover that : first, Soeharto was proved of having deep influence in the conception and in implementing the ABRI double-function, that influenced also the character and the pattern of civil-military relationships in Indonesia; second, civil-military retationships in Indonesia in the era of Soeharto, was a variant of Subjective Civilian Control; third, there were three principal different views between Nasution and Soeharto about ABRI double-function, because of some factor of influences e.g. different background of culture, educations, experiences, and mind set; forth, Soeharto was deeply influenced by Javanese cultural values in implementing his power and leadership; fifth, ABRI double-function was claimed because of internal and external factors, especially the wide and deep implementation to stand up for Soeharto's power.