Respon wanita usia reproduktif yang mengikuti program reproduksi berbantuan sangat bervariasi terhadap induksi FSH. Variasi respon berkisar dari tidak ada respon/respon yang sangat lemah sampai menyebabkan sindrom hiperstimulasi. Hiperstimulasi dapat menyebabkan komplikasi serius seperti terjadinya pembesaran ovarium dan ekstravasasi cairan pada rongga perut sehingga terjadi ascites, hypovolemia dan hemoconcentration. Hasil studi menunjukkan bahwa genotip receptor FSH merupakan salah satu faktor penentu respon ovarium terhadap FSH. Sampai saat ini dlketahui ada dua polimorfisme pada gen reseptor FSH. Sensitivitas reseptor FSH ditentukan oleh kombinasi alel yang terbentuk. Namun yang menjadi pertanyaan apakah hanya polimorfisme pada gen struktur yang menentukan sensitivitas reseptor FSH.
Hasil penelitian pendahuluan kami pada daerah promotor reseptor FSH sepanjang 231 pb menunjukkan adanya dua mutasi titik pada posisi -29 dan -114. Untuk mengetahui apakah daerah promotor reseptor FSH manusia polimorfik dan apakah polimorfisme mempengaruhi sensitivitas ovarium terhadap FSH, maka dilakukan skrining polimorfisme promotor reseptor FSH pada 262 sampel wanita Jarman dan 54 sampel wanita Indonesia yang mengikuti program IVF/ICSI menggunakan teknik PCR-SSCP-sekuensing dan TaqMan, dan melihat korelasi antara polunorfisme dengan level FSH basal dan kebutuhan ampul FSH untuk induksi ovarium. Untuk mengetahui apakah polimorfisme tersebut mempengaruhi aktivitas promotor, dilakukan analisis fungsional dengan cara mendeteksi aktivitas gen reporter luciferase pada sel COS-7, JC-414 dan SK-11. EMSA dilakukan untuk mengetahui apakah polimorfisme mempengaruhi kemampuan binding faktor transkripsi pada situs spesifiknya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah promotor reseptor FSH polimorfik yang dibuktikan dengan ditemukannya lima single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada posisi 29, 37, -114, -123, dan -138 di samping ditemukannya variasi jumlah basa adenin (A) pada promotor inti reseptor FSH. Polimorfisme pada posisi -29 (G -> A) ditemukan dengan frekuensi tertinggi. Pada wanita Jerman distribusi frekuensinya adalah 7,25% homozigot AA, 30,92% heterozigot AG, dan 61,83% homozigot GG, sedangkan pada wanita Indonesia distribusi frekuensi alel yang didapatkan adalah 22,2% homozigot AA, 50% heterozigot AG, dan 27,8% homozigot GG. Terdapat perbedaan yang bermakna dari distribusi alel polimorfisme pada posisi -29 di antara kedua etnic yang diteliti Polimorhsme pada empat posisi lainnya (-37, A -> G), (-114, T -> C), (-123, A -> G), dan (-138, A -> T) ditemukan dalam frekuensi yang rendah (< 5%).
Polimorfisme pada posisi -123 menurunkan aktivitas promotor secara bermakna (p < 0,05) yang terukur dari penurunan ekspresi gen reporter luciferase, sebaliknya polimorfisme pada posisi -37 dan -138 meningkatkan aktivitas promotor secara bermakna (p < 0,05). Polimorfisme pada dua posisi lainnya. (-29 dan -114) menurunkan aktivitas promotor secara tidak bermakna. Hasil EMSA pada probe yang mengandung polimorfisme pada -138 memperlihatkan terbentuknya kompleks DNA-protein spesifik dengan ukuran yang lebih kecil dibanding probe wild type yang diduga sebagai hasil terlepasnya satu protein dari situs bindingnya akibat adanya polimorfisme. EMSA yang dilakukan menggunakan probe yang mengandung polimorfisme pada -123 menunjukkan terjadinya penurunan intensitas sinyal pita yang dihasilkan dibanding wild type probe. Diduga polimorfisme menurunkan kemampuan binding faktor transkipsi pada situs spesifikaya.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada level FSH basal di antara ketiga alel berdasarkan polimorfisme pada posisi -29 pada kelompok wanita Jerman dan Indonesia, di samping tidak ditemukannya perbedaan yang bermakna di antara ketiga alel dari kedua kelompok sampel wanita terhadap jumlah ampul FSH yang dibutuhkan untuk stimulasi ovarium. Namun terdapat kecenderungan bahwa wanita dengan alel GG mempunyai level FSH basal yang lebih tinggi dan membutuhkan jumlah ampul FSH yang lebih banyak dibanding wanita dengan alel AA.
It has been known that the response to FSH stimulation varies broadly among women undergoing assisted reproduction. The variations of response range from no response/ extremely low response to one leading to hyper stimulation syndrome. Hyper stimulation may lead to serious complication manifested in ovarian enlargement and extravasations of fluid to the abdominal cavity resulting in ascites, hypovolemia and hemoconcentration. Previous studios indicated that the FSHR genotype is one of the critical factors for ovarian response to FSH stimulation. Two polymorphisms of FSHR have been known so far where the sensitivity of FSHR is determined by the allelic combination involved.. Nevertheless, it was still unclear whether the polymorphism of the structural gene is the sole factor determining the FSHR sensitivity. Our preliminary study on promoter region of FSHR gene span over 231 bp found two point mutations at position -29 and -114. In order to get understanding of whether promoter region of human FSHR gene is polymorphic and whether the polymorphisms influence the promoter activity leading to ovarian sensitivity to FSH stimulation, the study of this FSHR promoter polymorphisms were carried out on 262 samples of German women and 54 Indonesian women participating in IVFIICSI program by means of PCR-SSCP-sequencing and TaqMan technology. Functional analysis were done to know whether the polymorphic promoter have different activity than the wild type by measuring the luciferase gene expressions in COS-7, JC-410 and SK 11. We also did EMSA to know whether polymorphisms influence the binding capacity of transcription factors to their specific binding sites.The results indicated that the promoter region of FSHR gene is polymorphic, which was proved by the discovery of five single nucleotide polymorphisms (SNPs) at positions: - 29, -37, -114, -123 and -138 in addition to the finding of adenines (As) base content variation in the core promoter of FSHR gene. The polymorphism at position -29 (G -~ A) was found to be the highest frequency. In German women the distributions of allelic frequency were 7.25% for homozygous AA, 30.92% for heterozygous AG and 61.83% for homozygous GG, while in Indonesian women the distributions of allelic frequency were 22.2% for homozygous AA, 50% for heterozygous AG and 27.8% for homozygous GG. There were significantly different in allele distributions at position -29 between two ethnic groups involved. The polymorphisms at four alternative position (--37, A -> G), (-114, T -> C), (-123, A -> G), and (-138, A -> T) were found at low frequency (< 5%). Polymorphism at position -123 lead to significantly decrease in promoter activity (p < 0.05) as indicated by the decreasing of luciferase reporter gene expression. Conversely, the polymorphism at positions -37 and -138 lead to significantly increase in promoter activities (p < 0.05). The polymorphisms in other two positions (-29 and -114) lead to insignificant decreasing the promoter activities. EMSA studies on probe with polymorphism at position -138 indicated the formation of specific DNA-protein complex with smaller size than the wild type probe. This is considered to the dissociation of protein from its binding site due to polymorphism on it. EMSA studies using probe with polymorphism at position -123 indicated the decreasing of band intensity as compared to wild type probe. It is assumed that polymorphism on this site lead to decreasing the capacity of transcription factor to bind to its site. This study also indicated that there were no significant differences on the FSH basal levels in the three alleles groups or the number of FSH ampoules needed for ovarian stimulation according to polymorphism at position -29 in German or Indonesian women either. However, there was a tendency that women carrying GG alleles have the higher FSH levels and need more FSH ampoules than the AA women.