Priyayi dalam masyarakat Jawa menduduki status yang tinggi dan sangat dihormati, oleh karenanya bagi wong cilik ingin menjadikan salah satu anak- anaknya atau bahkan kalau bisa semua anak-anaknya menjadi priyayi. Priyayiisme bagi wong cilik dapat diartikan sebagai proses menjadi priyayi, sedangkan bagi priyayi, priyayiisme dapal diartikan sebagai bentuk atau upaya mempertahankan status kepriyayiannya. Dalam status priyayi melekat atribut kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Untuk mempertahankan statusnya sebagai priyayi, seorang priyayi tidak bisa melepaskan diri dari perilaku Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Penelitian mengenai Priyayi-Priyayiisme dan KKN di Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan studi stratifikasi sosial dari sudut sosial budaya melalui nilai-nilai kepriyayian, yang akan melihat bagaimana proses di atas berlangsung dari periode waktu sebelum tahun 1945, tahun 1946-1975 dan 1976- 2005, sehingga akan secara nyata akan terlihat bentuk-bentuk perubahan dan hasil pembahan yang terkait dengan proses-proses sosial tersebut.
Penelitian ini mempergunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara mendalam dan Studi dokumentasi. Informan kunci yang dijadikan sumber informasi dalam penelilian ini adalah para priyayi terutama tokoh-tokoh masyarakat, guru dengan penekanan pada Iurah dan camat. Penekanan ini untuk mempermudah dalam mengkaitkan hubungan kekuasaan, kejayaan dan kehormatan dengan KKN. Sedangkan yang dijadikan rujukan sebagai sumber informasi utama adalah informasi dari Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Harsadiningrat, sebagai orang yang ditunjuk oleh Keraton Kasultanan "Ngayogyakarta Hadiningrat" untuk mewakili keraton memberikan informasi mengenai priyayi. Penunjukan beliau didasarkan atas penguasaan substansi dan pengalaman beliau sebagai mantan bupati yang mengetahui secara mendalam lurah dan camat melaksanakan pemerintahannya.
Konsep-konsep utama yang dipergunakan untuk menganalisa temuan penelitian ini adalah konsep-konsep Weber dan Lenski (1978) tentang stratifikasi sosial (Kekuasaan, Previlese dan Prestise) dan kosep "Verstehen" dari Weber ; konsep "Kapital Kultural" dari Bourdieu, 1966. Dalam studi weber ketiga dimensi itu pada dasarnya berdiri sendiri namun dimensi previlese lebih mendominasi dibandingkan dengan dimensi Iainnya, sebaliknya Lenski lebih melihat kekuasaan lebih dominan dibandingkan dengan yang Iainnya. Dalam studi RMZ Lawang, tentang manggarai ketiga dimensi itu harus dilihat secara terpisah. Dalam kaitannya dengan studi priyayi tentang priyayi pada awalnya benar apa yang disampaikan oleh Weber dan Lenski namun kemudian berubah arah menjadi prestise yang Iebih dominan. Sedangkan konsep-konsep priyayi penulis rujuk dari Clifford Geertz (1980), Umar Kayam (2003), Ong Hok Ham (2002), Supariadi (2001), Serat Wulang Reh Karya Paku Buwana IV (1788-1811), Serat Tripama dan Wedhatama karya Mangkunegara IV (1853) dan sumber-sumber lain seperti terdapat dalam babad, wewaler maupun cerita fiksi modern.
Penelilian lapangan ini menemukan, bahwa terdapat pergeseran atau perkembangan dari definisi priyayi, yang semula priyayi berkonotasi sebagai "kata benda" yang merukuk pada keturunan, kini berkonotasi sebagai "kata sifat" yang merujuk pada perilaku. Dalam priyayiisme juga mengalami pergeseran atau perkembangan magna. Bagi priyayi priyayiisme bergeser dari upaya meniru gaya hidup keraton kepada upaya mempertahankan "status quo" yang dilakukan dengan sesuatu upaya yang terimplementasi dalam kehidupan modern seperti investasi dalam bidang pendidikan, berwira usaha, berdagang dan lain-lain. Upaya-upaya itu juga dibarengi dengan upaya "panyuwunan sebagai abdi dalem punakawan" dalam birokarasi kraton untuk melengkapi keunggulannya sebagai priyayi terutama terkait dengan atribut kehormatan. Fenomena ini sama dengan fenomena "Umrah" dan "Haji". Sementara itu priyayiisme bagi wong cilik yang semula diartikan sebagai proses menjadi priyayi dengan penekanan menjadi pegawai negeri, tujuan itu bergeser menjadi lebih luas, ingin menjadi pegawai dengan tetap berusaha meniru priyayi. Sebagai konsekuensi perkembangan dan pergeseran definisi tersebut, sebuah temuan lapangan menunjukkan bahwa struktur sosial priyayi berkembang secara kuntitas, makin meluas dan mengakar kebawah dan nilai-nilai priyayi makin tersosialisasikan lebih banyak kepada wong cilik. Yang menyemangati perubahan ini adalah HB DC (1940-1988) dengan konsepnya "Tahta Untuk Rakyat" yang kemudian diikuti "Nama Untuk Rakyat" meskipun yang disebut terakhir tidak melalui statement secara resmi dan HB X (1989-sekarang), dengan konsepnya "Tahta Untuk Kesejahteraan Rakyat" dan anjurannya agar selalu "Berlaku Prasaja".
Temuan perkembangan definisi dan meluasnya struktur sosial priyayi sebagaimana tersebut di atas, penulis juga menemukan tentang rumusan klarifikasi yang didasarkan pada kajian lieteratur maupun temuan-lapangan. Klasifikasi priyayi itu ialah "Priyayi Luhur", "Priyayi Menengah", "Priyayi Biasa" dan "Priyayi Rendah" dengan menggunakan para meter "°Pendidikan", "Keturunan dan Gelar- Gelar Bagsawan dan Tatanan Priyayi" yang meliputi aspek "Penguasaan Bahasa Jawa dan Bahasa Asing", "Kepemimpinan", "Keteladanan", "Kesetiaan dan LoyaIitas", "Keihklasan dan Kejujuran", "Kedermawanan dan Kerelaan Berkorban". Aspek-aspek ini ditujuan untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, pemerintah dan negara.
Berdasarkan temuan lapangan maupun teoritik, penulis menyarankan untuk sebuah penelitian lanjutan tentang "Tatanan Priyayi", yang hasilnya dapat memperkuat temuan-temuan di atas, dengan mengoperasionalkan setiap aspek dengan parameter yang terukur.