UI - Disertasi Open :: Kembali

UI - Disertasi Open :: Kembali

Resolusi konflik pasca MoU Helsinki: Studi kasus lanngsa Propinsi Aceh

Bambang Wahyudi; Iwan Gardono Sudjatmiko, promotor; Gumilar Rusliwa Somantri, promotor; Bambang Shergi Laksmono, examiner; Samuel, Johannes Patricius Hanneman, examiner; Lugina Setyawati Setiono, examiner; Linda Darmajanti, examiner; Rusydi Syahra, examiner (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009)

 Abstrak

Berbagai literatur mutakhir mengenal resolusi konflik menunjukkan bahwa persoalan konflik tidak hanya mengenai bagaimana mengakhiri konflik bersenjata (perang), namun juga mengenai hal bagaimana membangun perdamaian pasca penyelesaian perang. Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan gambaran bagaimana konflik di Aceh mentransformasikan dirinya, kemudian memberikan kerangka kerja yang memungkinkan pihak-pihak yang saling bermusuhan melakukan rekonsiliasi dan mentransformasikan pertentangan mereka ke dalam kegiatan tanpa kekerasan yang diikuti dengan tindakan pemeliharaan perdamaian yang lebih luas, yang meliputi usaha-usaha untuk mentransformasikan ketidakadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan.
Data di lapangan menunjukkan bahwa cakupan resolusi konflik adalah lebih luas ketimbang upaya pengakhiran konflik, dan dengan cara pandang demikian, kesepakatan damai antara Pemerintah RI dan GAM adalah sebatas sebuah pengakhiran konflik bersenjata antara kedua belah pihak namun belurn tentu pengakhiran konflik antara pihak-pihak yang bertikai di Aceh. Apalagi membangun perdamaian, mentransformasikan keadilan dan menjembatani posisi yang berseberangan. Telah terjadi pergeseran konflik di Aceh, dari konflik yang bersifat vertikal antara 'Aceh' dengan 'Jakarta', ke konflik horizontal antar masyarakat Aceh sendiri (Aceh GAM dengan Aceh RI). Pergeseran ini menunjukkan bahwa MoU Helsinki masih menyisakan permasalahan integrasi sosial yang potensial untuk menjadi bahan bakar konflik berikutnya dan mengancam integrasi nasional. Pergeseran konflik juga bisa dilihat dari cara pandang masing-masing pihak yang bertikai. Dari sisi GAM, perjuangan GAM belumlah dianggap selesai dengan konsensi-konsensi dalam MoU Helsinki. Kesejahteraan rakyat Aceh (GAM menyebutnya 'bangsa Aceh') dan hak-hak politik masih perlu diperjuangkan. Sedangkan dari pihak Jakarta dan masyarakat Aceh RI melihat perjuangan GAM ini sebagai pemberontakan dan pemberontakan ini telah mengalami transformasi, dari pemberontakan bersenjata ke pemberontakan simbolik.
Data menunjukkan bahwa penyelesaian konflik yang komprehensif masih perlu waktu karena hambatan-hambatan sebagai berikut : sentimen etnis dan kedalaman konflik (dikotomi Aceh dan Jawa), perbedaan kepentingan dan harapan warga Aceh terhadap perdamaian dan perubahan struktur aktor konflik serta potensi konflik laten (simasi anomi). Hambatan-hambatan ini menujukkan bahwa penyelesaian konflik membutuhkan peran serta warga Aceh secara luas termasuk unsur-unsur diluar GAM karena aktor-aktor konflik juga telah berubah, bukan antar 'siapa' namun bisa meluas menjadi antar 'situasi'. Langkah-langkah yang disarankan untuk menuju penyelesaian konflik yang komprehensif menuju perdamaian positif adalah fokus ke rekonsiliasi (fluiditas) dan transformasi konflik, dalam hal ini adalah transformasi konteks, transformasi struktural, transformasi aktor, transformasi persoalan, transformasi kelompok dan personal.
Resolusi konflik secara sosiologis adalah bagaimana mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial yakni terpenuhinya secara berkesinambungan penghidupan dan berbagai kebutuhan hidup sebagian besar warga masyarakat serta terbukanya peluang bagi tiap warga masyarakat untuk mengaktualisasikan diri masing-masing. Perubahan kemasyarakatan dan pembangunan sosial-ekonomi serta politik merupakan katalisator dan lingkungan pemampu (enabling environment) untuk rekonsiliasi dan transformasi konflik. Oleh karena itu, peneliti menyarankan perlunya integrasi antara pembangunan perdamaian (kesejahteraan) di Aceh melalui upaya rekonsiliasi dan transformasi konflik (peace and development). Langkah-langkah integrasi itu antara lain transformasi ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan akses politik.

Some text-books in conflict resolution have shown that conflict-related problems are not only concerning with how to stop violence, but also dealing with sustaining peace through development. This research is aimed at a description of conflict transformation in Aceh and to develop a framework for the actors to transform their conflict into a non-violence effort and addressing the root of the conflict that created injustice in the society.
Field data confirmed that the scope of conflict resolution is more than an effort to end war. With this regard, peace agreement between GAM and Govemment of Indonesia could be seen as an agreement to end violence but not to solve the conflict's problem. Based on the analysis, there is a shift of the conflict in ACeh, from a vertical conflict (between Jakarta and GAM) to a horizontal conflict between community groups. This shift has proven that social integration related problems are beyond MoU Helsinlci's imagination. A shift also can be seen from each stand point; GAM believes that their holy mission has not completed yet although MoU Helsinki gives significant benefits to GAM. Welfare of the people of Aceh and their political rights are not fully met. ln the other hand, Jakarta still considers GAM is a separatist, rebellion, and GAM has changed their strategy to a symbolic rebellion.
Based on field data, a comprehensive conflict resolution in Aceh is still far away because of some barriers such as ethnic sentiment, fragmented expectations and interests among community groups, and changes in the structure and actors of the conflicts. A comprehensive conflict resolution requires collective efforts from non- GAM groups as well because the conflict is merely between Jakarta and GAM but also between 'different situation'. Suggested actions for this is focusing on conflict transformation i.e. transformation of context, structural transformation, actors transformation, transformation of issues, and transfomiation of individual and groups.
Societal change and socio-economic development is the catalyst and an enabling environment for conflict transformation. This research recommends that an integration between peace building and development (peace through development) is a central issue in addition to economic transfonnation, education, socio-culture development, and access to political structure.

 File Digital: 1

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Disertasi Open
No. Panggil : D977
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan :
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xiv, 263 pages : illustration ; 30 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D977 07-17-457848307 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20426602
Cover