Duncan Kennedy, seorang penganut realisme hukum, secara sinis pernah berujar, Teachers teach nonsense when they persuade students that legal reasoning is disticnt, as a method for reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There is never a correct legal solution that is other than the correct ethical or political solution to that legal problem. seandainya sinyalemen kennedy benar subjek yang digugat, tentu tak hanya para dosen lembaga pendidikan tinggi hukum, melainkam juga mereka yang berprofesi sebagai fungsionaris atau praktisdi hukum, utamanya para hakim.Tulisan ini tidak berangkat dari pandangan kaum realis yang sejak awal sudah menafikan penalaran hukum, tapi bertolak dari asumsi tetap ada sesuatu yang disebut penalaran hukum tersebut. Penalaran ini mempunyai karakteristik unik, khususnya bila dilihat dari perspektif para hakim, terlebih lagi para hakim di MK. Tulisan ini bertujuan menguraikan sekilas tentang filosofi bernalar yang idealnya dapat diteraspkan hakim konstitusi dalam masa transisi konstitusionalitas yang disebut dsebut kontekstual dengan kondisi kekinian sistem hukum indonesia.Jika kita kembali pada pernyataan diatas, sesungguhnya gugatan tersebut cukup berdasar. Aada dua alasannya, Pertama, karena objek yang dinalar tidak pernah jelas. Objek yang bernama hukum itu amat kompleks dan multifaset. Kedua, Sang subjek yang menalar pun merupakan mahluk yang tidak steril, tidak bebas nilai dan penuh dengan kepentingan.