Gerakan pemurnian tasawuf berakar kuat dalam ajaran Islam yang terdiri atas akidah, syari'ah dan akhlak. Gerakan itu dimulai semenjak ada indikasi pemisahan pengamalan tasawuf dari pengamalan fiqh. Kaum Muslim yang mengamalkan tasawuf disebut ahli batin [ahl al bathin] dan yang mengamalkan fiqh disebut ahli lahir [ahl al zhahir]. Imam Malik bin Anas berusaha untuk menyatukan pengetahuan akal ['ilm al aql] dan pengetahuan hati ['ilm al qalb]. Usaha ini terus berlanjut hingga berpuncak pada al Ghazali, yang berhasil memadukan dua orientasi keberagaman lewat karya Ihya' Ulum al Din. Sejak masa itu, dunia Islam mengenal Tasawuf Sunni, yaitu tasawuf yang didasarkan pada al Qur'an dan Sunnah. Di zaman modern, gerakan pemurnian itu dikenal sebagai Neo Sufisme, yaitu tasawuf yang bersifat tajdid; pembaharuan konsep dan amaliah kesufian dari unsur bid'ah, khurafat dan takhayul. Arsitek neo-sufisme, Ibn Taimiyyah menamakan pengalaman tasawuf dengan istilah pekerjaan hati ['amal al qulub], seperti mencintai Allah dan Rasul-Nya, tawakal kepada Allah, ikhlas, syukur, sabar, khawatir atas murka Allah (khauf), dan penuh harap atas rahmat-Nya (al-raja), sementara kaum sufi mengistilahkan sebagai maqam dan hal (al-maqam wa al-hal).