dalam Persepektif islam, secara teologis tidak ada satupun ayat maupun hadis yang membenarkan menjadikan perempuan sebagai objek kekerasan dan penindasan di dalam perkawinan. namun dalam undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum islam di dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang bias gender ysng menempatkan perempuan dalam posisi sebagai objek kekerasan yang berdampak pada berbagai bentuk ketidakadilan bagi perempuan. reinterprestasi maupun rekontruksi terhadap penafsiran pemahaman agama yang bias gender perlu dilakukan secara simultan dengan advokasi untuk perubahan kebijakan agar terjadi perubahan sikap dan prilaku secara struktural maupun kultural yang adil gender. substansi ajaran agaman yang bias gender tidak akan mungkin berubah menjadi adil gender kalau secara struktural para ulama, penafsir dan ahli agama serta para penyelenggara negara tidak sensitif gender apalagi buta gender