ABSTRAKPada bulan Juni tahun 2012, UNESCO memberikan warisan budaya dunia kepada
Provinsi Bali, yakni mensahkan budaya Subak sebagai Warisan Budaya Dunia. Subak
yang ditetapkan sebagai warisan budaya dunia tersebut ialah Subak Jatiluwih yang
berada di Kabupaten Tabanan. Pada saat ini subak mengalami tantangan berupa alih
fungsi lahan akibat pembangunan pariwisata yang pesat, sehingga pemerintah
berperan penting dalam melakukan tata kelola kawasan subak. Kawasan subak
Jatiluwih dikelola oleh lima pihak yaitu pemerintah desa, dua desa adat, pemerintah
kabupaten Tabanan, dan organisasi subak Jatiluwih. Pada tata kelola kawasan subak
terdapat interaksi yang asimetris antara pemerintah dan masyarakat. Teori yang
digunakan untuk menganalisis ialah teori governansi, dengan teori inti skenario
tipologi interaksi antar aktor dan interactive governance. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Governansi yang dilakukan dalam pengelolaan kawasan wisata
subak Jatiluwih tidak mendekati ketiga tipologi tersebut, yang mana governansi tidak
memfokuskan masyarakat sebagai aktor utama dalam tata kelola kawasan subak
Jatiluwih. Masyarakat hanya berinteraksi melalui perwakilannya saja. Faktor yang
sangat berpengaruh dalam governansi kawasan subak Jatiluwih adalah politik dan
kekuasaan, sehingga faktor norma (metagovernance) menjadi lemah untuk
menciptakan arena governansi yang stabil.
ABSTRACTIn June 2012, Subak Jatiluwih in Bali Province was selected as one of the World
Heritages by UNESCO. At this time Subak face the challenges of land conversion due
to rapid tourism development, so that the government plays an important role in
governance of Subak area. Subak Jatiluwih area managed by the five parties,that is
village government, two indigenous villages, local governments, and Subak Jatiluwih
organizations. In the area of governance in Subak Jatiluwih, there is a asymmentrical
interaction between government and society. Theory used in this research was
governance theory, with the main theory of between actors? interaction scenarios
such as communitarianism, deliberative democracy, direct democracy; and
interactive governance as the additional theory. Results showed that governance
applied in the management of subak Jatiluwih tourism area was not approaching the
three scenarios mentioned. The governance did not focus on the local society or
community as main actors in managing the subak Jatiluwih area. The interaction of
local society was restricted through its representative people only. Results also
showed that the most impactful factor in the governance of subak Jatiluwih area was
politic and power. Thus, the impact of norm factor (metagovernance) became weak in
creating stable governance area.;