ABSTRAKTesis ini membahas kontestasi elit lokal dalam konflik pembentukan Kabupaten Mamasa dalam kerangka pemikiran Pierre Bourdieu tentang habitus, modal dan ranah (field). Dengan menggunakan metode kualitatif melalui studi kasus, penelitian ini mengkaji perpecahan internal elit Mandar dalam merespon kebijakan pemekaran daerah melalui penetapan Undang-Undang nomor 11 tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Mamasa, yang berimplikasi terhadap lahirnya konflik horozontal pada masyarakat Aralle, Tabulahan, dan Mambi (ATM) di Kabupaten Mamasa. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa para elit Mandar terpolarisasi ke dalam dua habitus kelompok politik, yaitu kelompok pro pemekaran dan kontra pemekaran. Habitus politik kelompok pro pembentukan Kabupaten Mamasa dilatari oleh kekuasaan atau kemandirian dalam mengelola pembangunan dan kesejahteraan di daerahnya. Sedangkan habitus politik kontra pemekaran Kabupaten Mamasa dilatari oleh upaya mempertahankan relasi etnisitas, keagamaan, dan pengalaman kesejarahan dengan penduduk Mandar. Kedua kelompok politik tersebut memaksimalkan kekuatan modal, baik sosial, ekonomi, budaya maupun simbolik, untuk bertarung memenangkan arena kontestasi pemekaran daerah. Akhirnya, melalui habitus dan kekuatan modal yang dominan, para elit politik pro pemekaran Mamasa berhasil memenangkan kontestasi dengan mempertahankan dan menyukseskan implementasi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2002.
ABSTRACTThis thesis examines the contestation between local political elites over the establishment of the Mamasa Regency, through Pierre Bourdieu?s concepts of habitus, capital and field. Using a qualitative method with a case study approach, this research examines the internal schism among the elites of the Mandar ethnic group in responding to the regional expansion policy through the issuance of Law No. 11/2002 on the Establishment of the Mamasa Regency, which triggers a horizontal conflict in the Aralle, Tabulahan and Mambi (ATM) people in Mamasa regency. This research concludes that the elites of the Mandar ethnic group are polarized into two groups with differing political habitus, which respectively supports and opposes the regional expansion. The habitus of the group supporting the expansion is the seeking of ways to gain the power or independence to manage the region?s infrastructure and people development, whereas the habitus of group opposing the regional expansion is the seeking of ways to maintain ethnic relations as well as preserve religious and historical experiences with the Mandar people. Both political groups utilized various capitals (social, economic, cultural and symbolic) to achieve their respective goals in the arena of political contestation. Ultimately, through powerful habitus and dominant capitals, the pro-regional expansion group succeeded in maintaining the regional expansion and implemented the Law No. 11/2002 on the Establishment of the Mamasa Regency.