ABSTRAKDisertasi ini bertujuan untuk memahami arti ritual ?Mungel? wayang Mbah
Gandrung, pemertahanan, dan pewarisannya. Ritual tersebut berpusat di Desa
Pagung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Untuk itu, dilakukanlah penelitian
kualitatif dengan pendekatan etnografi dalam perspektif ?drama sosial?. Temuan
penelitian menunjukkan bahwa ?Mungel? adalah ?gelaran? ritual bukan ?tontonan?.
Oleh sebab itu, ?Mungel? menggunakan ?bingkai spiritual? untuk ?melaju?.
?Bingkai? tersebut berkembang menjadi ?sosial-spiritual? ketika ?gelaran?
dilaksanakan untuk rangkaian ?Grebeg Suro?. Meskipun demikian, ?Mungel? masih
dinilai sakral dan ?mandi? oleh sebagian pendukungnya, tetapi, oleh yang lain,
dinilai sebagai tindak budaya kreatif dengan meritualkannya. Meskipun demikian, ia
layak diangkat sebagai salah satu identitas budaya daerah dan tempatnya dijadikan
museum hidup oleh kedua kelompok tersebut, sehingga perlu dipertahankan dan
diwariskan
ABSTRACTThis dissertation aimed at understanding the meanings of wayang Mbah Gandrung?s
?Mungel? ritual, its safeguarding and its transmission. The ritual center is Desa
Pagung, Sub-Disctrict of Semen, Kediri District. For this purpose, ethnographic
research has been carried out. Assessed from the persective of ?social drama?, this
research has found out that ?Mungel? is a ritual, not an entertaintment. Therefore, it
uses ?spritiual frame? to ?flow?. However, it changes into ?social?spiritual frame?
when ?Mungel? takes place in ?Grebeg Suro? ceremony. Still, people consider it
either as sacred and efficaious or creative act retualized. However, it is worth taking it
as one of the regional cultural identities and the pavilion as an indigenous museum
need preserving as well as transmitting.