ABSTRAKKarya akhir ini mempunyai tiga tujuan utama yaitu mengetahui keberadaan dan
besarnya initial abnormal return (underpricing) saham perdana dikaitkan dengan kondisi
pasar modal tahun 1998 - 2000, perilaku saham perdana melalul pola cumulative
abnormal return serta menguji signifikansi beberapa variabel kandidat, untuk melihat
pengaruh variabel tersebut terhadap besaran initial abnormal return. Dalam literatur
literatur keuangan disebutkan bahwa harga penawaran saham perdana umumnya lebih
rendah dan nilal wajarnya. Beberapa penelitian seperti penelitian Lee, Taylor dan Walter
(emisi saham baru di Australia), Ibbotson dan Ritter (emisi saham baru di Amerika),
Dimson dan Levis (Inggris) dan Aggarwal, Leal dan Hernandez (Brazil) telah
mengkonfirmasi adanya fenomena underpricing tersebut.
Study karya akhir berdasarkan metodologi event study yang dikombinasikan
dengan metodologi time-series. Metodologi time-series digunakan untuk membersihkan
data dan unsur autokorelasi sebelum dimasukkan sebagai input (model normal return)
dalam metodologi event study dalam rangka memperoleh abnormal return. Gabungan
kedua metodologi ini akan menghasilkan output yang relatif akurat sebagai model
pengukur normal return saham. Pokok penelitian dalam study adalah IPO 1998-2000
dengan tujuan memperoleh gambaran perilaku emisi saham pada kondisi krisis, untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan dengan masa sebelumnya.
Hasil penelitian pada karya akhir ini menunjukkan bahwa selama periode tahun
1998 sampai dengan tahun 2000, emisi saham perdana menghasilkan initial abnormal
return (nderpricing) sebesar 3347% secara rata-rata dan signifikan (pada ? =1%) saat
pertama kah diperdagangkan. Hash penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya
dalam hal besarannya yang sangat signifikan. Penelitian Hanafi (1998) mendapatkan
besaran sebesar 15% untuk emisi saham perdana periode 1989 ? 1990, sedangkan
Hermawan (2000) menemukan underpricing pada hari pertama signifikan sebesar 8,52%
Perbedaan yang jauh atas besaran underpricing tersebut terutama disebabkan
kondisi pasar yang berbeda. Pertama, pada saat krisis, harga-harga saham jatuh ke level
yang paling murah, bahkan untuk beberapa saham, tidak dianggap berharga karena
nilainya jauh dibawah nilai nominalnya. Hal ini menyebabkan harga saat penawaran
saham perdana, ditentukan rendah, relatif bila dibandingkan dengan periode sebelum
krisis. Ketika pada hari pertama, saham perdana dengan harga rendah tersebut, dengan
overreaction pasar yang terjadi ketika dilepas ke pasar sekunder, maka besaran
underpricing menjadi relatif lebih besar dibandingkan jika harga saham ditawarkan pada
harga normal (sebelum krisis).
Kedua, return pasar yang rendah disebabkan minimnya perdagangan (thin
trading) untuk tahun 1998 ?2000 relatif jika dibandingkan periode sebelumnya. Selama
periode krisis dan berikutnya, bursa cenderung bersifat spekulatif dan segala informasi
dianggap kesempatan untuk menghasilkan keuntungan. Hal ini terlihat dari pola
cumulative abnormal return, khususnya pada tahun 1998.
Ketiga, jika dikaitkan dengan faktor risk-return dan saham-saham BEJ dalam
periode krisis, tentunya investor mengharapkan return yang tinggi akibat makin
membengkaknya risk untuk memegang Saham-saham di bursa Indonesia, sehingga pihak
perusahaan atau penjamin emisi menetapkan tingkat underpricing yang besar untuk
menarik minat investor atas sahamnya, dengan menetapkan harga penawaran yang jauh
Iebih rendah dan nilai wajar perusahaan. Selain dari segi harga perdana yang ditawarkan,
tingkat risiko yang diantisipasi investor juga telah tercermin dalam tingkat expected
return saham perdana. Sehingga secara keseluruhan, meningkatnya besaran initial
abnormal return (underpricing) secara signifikan untuk periode krisis merupakan suatu
hal yang wajar.
Perilaku saham perdana yang dilihat dan pergerakan cumulative average
abnormal return menunjukkan bahwa tingkat underpricing yang terbesar hanya terjadi
pada hari pertama. Pada hari kedua, saham perdana mengalami koreksi yang cukup
signifikan. Average abnormal return masih diharapkan positif pada hari-hari berikutnya
nampaknya tidak terjadi. Pada pola cumulative average abnormal return jika pada
penelitian Hermawan (2000) menunjukkan kecenderungan penurunan perlahan pada hari
hari berikutnya, maka yang terjadi pada penelitian ini adalah pola cumulative average
abnormal return mengalami pola yang stabil untuk masa 60 hasil perdagangan, sebagai
penyesuaian atas overreaction di hari pertama, bahkan sedikit terlihat tren yang
meningkat. Akan tetapi periode pengamatan yang hanya 60 hari membatasi untuk
mengambil kesimpulan secara umum untuk periode yang lebih panjang.
Penelitian ini tidak menemukan hubungan yang signitikan antara variabel
variabel kandidat dengan tingkat initial abnormal return kecuali untuk variabel nilai
emisi saham perdana yang menunjukkan hubungan yang negatif dimana nilai emisi yang
lebih rendah akan menyebabkan besaran initial abnormal return yang Iebih tinggi. Hal
ini terkait dengan persepsi investor bahwa perusahaan dengan nilai emisi kecil cenderung
Iebih berisiko dibandingkan dengan perusahaan besar (dilihat dari besarnya nilai emisi).
Temuan ini memberikan beberapa implikasi. Bagi investor, makin menguatkan
kelebihan dan strategi ambil-untung yaitu pembelian saham di pasar perdana untuk dijual
Iangsung di pasar sekunder pada hari pertama perdagangan. Karena besaran underpricing
yang didapatkan jauh lebih besar pada periode setelah krisis jika dibandingkan dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Kemudian bagi peneliti, adalah tantangan untuk
mengetahui bagaimana dan seperti apa structural changes yang dialami Bursa Efek
Jakarta jika dikaitkan dengan indikasi bahwa terjadi perubahan besaran initial abnormal
return yang signifikan. Sedangkan bagi para akademisi, hal ini semakin menguatkan
kesimpulan bahwa Bursa Efek Jakarta memiliki bentuk pasar yang definitely semi-strong
inefficient.