Artikel berikut ini membahas tentang kelompok kekerasan dalam kaitannya dengan akses terhadap hak atas keamanan di Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kelompok kekerasan dalam artikel ini didefinisikan sebagai ‘kelompok keamanan informal’ untuk membedakannya dengan entitas keamanan formal yang dimiliki oleh negara seperti polisi dan tentara. Saya menawarkan alternatif interpretasi yang berbeda dengan penjelasan yang sudah umum terhadap keberadaan kelompok kekerasan informal. Sebagian besar penelitian terdahulu cenderung menempatkan kelompok kekerasan informal hanya sebagai aktor antagonis atau elemen predatoris dalam proses demokratisasi. Dengan mengacu kepada konsep yang digagas oleh Asef Bayat tentang social non-movement, saya berargumen bahwa kelompok keamanan informal di Lombok merupakan cara orang-orang biasa untuk meningkatkan kualitas hidupnya ketika akses terhadap hak atas keamanan dan keadilan tidak tersedia, meskipun berada di antara batas aktivitas legal dan ilegal. Akan tetapi, kelompok-kelompok seperti itu rentan digunakan oleh elit lokal untuk memperoleh kepentingan politik tertentu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan penelusuran arsip/dokumen.
This essay discusses vigilante groups in relation to access for rights to security, particularly in Central Lombok District, West Nusa Tenggara Province. Vigilante groups are defined as 'informal security groups' to distinguish them from formal security entities owned by the state such as the police and military. I propose an alternative interpretation toward the existence of informal security groups that is different from mainstream explanation. Most of the literatures have a strong tendency to categorize informal security groups merely as antagonist actors and a predatory element in the process of democratization in Indonesia. By referencing Asef Bayat’s notion of social non-movement, I argue that informal security group, in Lombok particularly, is one way ordinary people seek to improve their quality of life when security and access to justice are not available, resulting in a blurred line between legal and illegal activity. However, these groups are susceptible to be used by the local elites to achieve particular political interests. This research used qualitative methods, including interviews and archival research.