The adoption of Law Number 22 Year 1999 led to the expansion of regional governments? autonomy,
applying autonomy in the broadest sense of the word, by focusing merely on ?decentralization?,
while disregarding the principle of de-concentration. Governmental affairs submitted based on
decentralization refer to authority by attribution, whereas de-concentration refers to authority by
delegation. Prior to the reform era, the management of mining was based on Law Number 11 Year
1967, whereby the basis of management authority was the classification of excavated materials
namely category a, category b, and category c. Subsequently, with the implementation of the
reform era, Law Number 11 Year 1967 was negated by the adoption of Government Regulation
Number 75 Year 2001, granting mining management authority to the Minister, Governor, Regent
or Mayor concerned in accordance with their authority respectively. As a result of the above, the
concept as provided for in Law Number 11 Year 1967 became inapplicable. This continued to be the
case up to the adoption of Law Number 4 Year 2009 concerning Mineral and Coal Mining, which in
principle adopts the concept which has been adjusted to the concept of granting autonomy to the
regional government as set forth in Law Number 22 Year 1999.
Berlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, membawa dampak pembesaran otonomi
pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten dan Kota, dengan diterapkannya otonomi seluasluasnya,
dimana asas yang diterapkan hanya ?desentralisasi? semata, tanpa penerapan asas
dekonsentrasi. Urusan pemerintahan yang diserahkan berdasarkan desentralisasi merujuk
pada kewenangan atribusian, sedangkan dekonsentrasi merujuk pada kewenangan delegasian.
Sebelum era reformasi pengelolaan pertambangan didasarkan pada Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967, dimana kewenangan pengelolaan didasarkan pada penggolongan bahan galian
golongana, golongan b, dan golongan c. Kemudian setelah berlangsungnya era reformasi, Undangundang
Nomor 11 Tahun 1967 ternegasikan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah Nomor
75 Tahun 2001, yang memberikan kewenangan pengelolaan pertambangan kepada Menteri,
Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai kewenangan masing-masing. Dengan demikian konsep
sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi tidak dapat diterapkan. Hal
ini berlangsung sampai terbitnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara, yang pada dasarnya menganut konsep yang disesuaikan dengan konsep
pemberian otonomi kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999.