ICU Rumah Sakit Pusat Pertamina merupakan salah satu ICU dengan kapasitas besar yang terdapat di Indonesia. Fasilitas yang dimilikinya cukup lengkap, standar operasional prosedur maupun jumlah serta kompetensi tenaga kerja yang bekerja didalamnya membuat instalasi ini dapat disetarakan dengan ICU tersier yaitu ICU pada level tertinggi yang biasanya terdapat pada rumah sakit rujukan atau pendidikan yang mampu mengatasi berbagai macam kondisi kritis pasien karena lengkapnya fasilitas yang dimiliki.
Akan tetapi ICU RSPP ini masih perlu mendapatkan perhatian lebih demi tujuan pelayanan yang optimal kepada pasien sesuai dengan visi dan misi RSPP kedepan. Melihat sumber daya dan kesempatan yang ada, maka pilihan model open pada sistem tata laksana pasien di ICU yang diterapkan selama ini dinilai sudah kurang sesuai hal ini disebabkan karena masih tingginya angka mortalitas, dokter intensivis maupun anestesi yang masih membagi waktunya dengan pembiusan di ruang operasi, panjangnya rantai pengambilan keputusan terapi dan masih bercampurnya antara pasien yang sungguh-sungguh membutuhkan ICU dengan pasien yang belum sepenuhnya memerlukan tindakan intensive.
Oleh karena itu peneliti mencoba menemukan model manajemen pasien yang dianggap lebih sesuai, efisien dan efektif bagi pasien maupun untuk rumah sakit. Metoda yang dipilih adalah Focus Group Discussion (FGD), indepth interview dan observasi karena topik yang diangkat merupakan topik yang sangat khusus dan belum banyak penelitian tentang ICU di Indonesia, juga karena sedikitnya waktu responden untuk dapat berkumpul serta metoda ini dapat memberikan jawaban yang lebih kaya karena adanya interaksi responden. Peneliti juga melakukan studi banding di 2 (dua) rumah sakit top referral di Jakarta dan Surabaya.
ICU RSPP memiliki sumber daya yang cukup besar yaitu 1 orang tenaga intensivis dan 3 orang tenaga anestesi yang siap mengikuti pelatihan intensivis, tenaga paramedis yang telah mendapat sertifikat intensive care sebanyak 75% dan terdapat 19 macam keahlian spesialis serta kapasitas jumlah tempat tidur sebanyak 22 buah membuat ICU RSPP pantas disetarakan dengan ICU tersier. Bukan hanya itu, standar prosedur tata laksana pasien telah disusun sesuai dengan semi-close model, hanya pelaksanaannya yang belum sesuai.
Dari hasil FGD dan indepth interview didapatkan bahwa sebagian besar peserta FGD menyatakan komposisi tempat tidur ICU saat ini masih kurang dan perlu adanya pemisahan fungsi ICU seperti ICCU dan ICU anak. Sedangkan dari hasil indepth interview menyatakan sebagian besar jumlah tempat tidur ICU sudah cukup dan sebagian kecil menyatakan kurang, dengan terbanyak menyatakan perlu adanya pemisahan.
Tentang jumlah dan kompetensi tenaga kerja sebagian besar peserta FGD menyatakan jumlah tenaga kerja dan kompetensinya dinyatakan cukup, sedangkan sebagian kecil menyatakan kurang. Untuk pertanyaan ini sengaja hanya ditanyakan pada kelompok FGD dikarenakan kelompok FGD adalah personil yang bekerja di unit ICU RSPP. Sedangkan kelompok indepth interview adalah kelompok dokter spesialis yang mengirimkan pasien ke ICU, sehingga penilaian atas kebutuhan jumlah tenaga kerja di kelompok ini kurang relevansinya.
Pertanyaan selanjutnya adalah tentang siapakah yang berwenang menentukan penilaian kritis pasien yang masuk ke ICU, pada kelompok FGD seluruhnya menyatakan dokter intensivis yang berwenang sekaligus mengukuhkan perlunya kehadiran dokter intensivis tersebut di ICU. Sedangkan kelompok indepth interview sebagian besar menyatakan dokter intensivis yang berwenang, dan sebagian kecil menyatakan dokter ruangan-lah yang berwenang.
Untuk menemukan jawaban pada pertanyaan apa yang lebih baik antara open model atau close-model pada kelompok FGD peneliti menggunakan teknik bertanya melalui bagaimana penentuan pasien masuk dan siapa yang bertanggung jawab, seluruh informan FGD menyatakan dokter intensivis dalam semi-close model ICU-lah yang terbaik. Sedangkan kelompok indepth interview sebagian besar menyatakan close model atau paling tidak semi-close adalah yang lebih baik dan sebagian kecil menyatakan open model-lah yang lebih cocok. Pada jawaban responden yang sebagian kecil tersebut ketika digali tentang kompetensi dokter yang merawat pasien kritis, keseluruhannnya menjawab dokter intensivis-lah yang lebih berkompeten akan tetapi pemilihan manajemen di ICU tetap diinginkan open model dengan asumsi dokter yang merawat sejak awal lebih memahami penyakitnya.
Selanjutnya harapan dan saran untuk perbaikan ICU mendatang seluruh dari informan FGD maupun responden pada indepth interview menyatakan perlu adanya perbaikan yang didukung oleh adanya kebijakan dari manajemen rumah sakit.
Sedangkan hasil studi banding yang telah peneliti lakukan di 2 (dua) rumah sakit top referral didapatkan hasil indikator yang lebih rendah dari hasil di Rumah Sakit Pusat Pertamina dikarenakan sebagai rumah sakit rujukan terakhir, kondisi pasien yang dirujuk seringkali berada dalam keadaan terminal atau sangat buruk. Tentu saja kondisi ini membuat angka harapan hidup pasien menjadi lebih kecil.
Bila melihat kondisi kegawatan pasien yang dirawat di ICU kiranya perlu suatu nilai standar yang disepakati bersama oleh persatuan dokter intensive care sebagai tolok ukur hasil kinerja medis yang dapat dievaluasi setiap bulan atau setiap tahun. Nilai standar ini dapat pula dijadikan sebagai target pencapaian keberhasilan suatu upaya pertolongan kritis pasien. Nilai standar dapat diambil dari nilai skor kritis pasien yang digunakan untuk menilai keadaan awal pasien sebelum pasien masuk ICU.
Dari keseluruhan hasil kegiatan penelitian ini di dapatkan kesimpulan bahwa pilihan semi-close model ICU menjadi pilihan yang paling sesuai yaitu dengan menempatkan dokter spesialis intensivis sebagai captain di ICU yang bekerja sama berkolaborasi dengan dokter spesialis yang merawat pasien tersebut sebelumnya.