Saat ini, tindak pidana penyerobotan tanah sering kali terjadi dengan semakin banyaknya populasi dan kepentingan manusia dengan jumlah tanah yang tersedia tetap sama. Tindak pidana yang termuat dalam Pasal 167 KUHP semula hanya melindungi hak bertempat tinggal, namun perkembangannya menjadi pasal yang digunakan untuk tindak pidana penyerobotan. Begitu pentingnya tanah menjadi pemicu munculnya perkara-perkara yang saling bersinggungan atas satu kasus yang sama. Lembaga prae judicieel geschil menjadi jembatan atas perkara-perkara tersebut baik perkara pidana, perdata, bahkan tata usaha negara demi memberikan kepastian hukum bagi para justiabelen khususnya untuk mencegah lahirnya putusan yang bertentangan. Mulanya prae judicieel geschil diatur dalam ketentuan Pasal 29 AB. Sementara dalam KUHP, lembaga prae judicieel geschil dimuat dalam Pasal 81 sedangkan di luar KUHP diatur dalam PERMA 1/1956, SEMA 4/1980, KUHPerdata hingga UU PTUN. Dengan metode yuridis normatif dan melakukan wawancara kepada beberapa narasumber, ditemukan berbagai persoalan praktik dalam penerapan lembaga prae judicieel geschil dalam kasus penyerobotan. Ketentuan Pasal 81 KUHP tidak dengan tegas menentukan siapa yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penundaan schorsing , namun dengan merujuk KUHAP pasal tersebut merupakan kewenangan Penuntut Umum untuk melimpahkan berkas ke Pengadilan. Sementara itu, PERMA 1/1956 maupun SEMA 4/1980 dengan tegas menentukan kewenangan itu berada pada tangan Hakim. Ketentuan-ketentuan tersebut bukan merupakan kewajiban bagi Hakim untuk melakukan penundaan, justru hal ini merupakan kebijaksanaan Hakim untuk menentukan sikap. Dengan kasus yang beragam, penggunaan prae judicieel geschil harus ditinjau secara kasuistis yang mana bila perkara pidana dan perdata sekaligus berjalan sebaiknya dilakukan koordinasi internal dari masing-masing Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut.
Nowadays, criminal acts of annexation have raised in numbers since there is significant increase of human population and business but at the same time areas of land are definitive. Article 167 Indonesia Criminal Code was formed to protect right to reside in the first place but through many progresses and precedents it is now used as an article that penalizes land annexation. The need of land in many sectors has triggered the entry of registered cases in various fields of law for only one matter of annexation and ownership. The institution of prae judicieel geschil is one meeting point among the existing criminal, civil, or even state administration cases. It aims to provide law certainty for justiabelen especially to prevent contradictions among verdicts or civil decisions even state administration resolutions. Prae judicieel geschil has been regulated in Article 29 Algemeine Bepalingen. On the other hand, it is also expressed in Article 81 Indonesia Criminal Code, Supreme Court Rule Number 1 Year of 1956, Supreme Court Circular Letter Number 4 Year of 1980, Indonesia Civil Code, and State Administration Act. By means of normative juridic method and interviewing legal practitioners, this research found numerous issues of prae judicieel geschil implementation especially in annexation cases. Article 81 Indonesia Criminal Code does not directly assert whom has the competence to postpone criminal process. Reffering to definition in Indonesia Criminal Procedure Code, it is related to Public Prosecutors competence to register the criminal cases to Court. Instead, Supreme Court Regulations as stated above have clearly affirmed that the authority relies on Judges rsquo wisdom and comprehension. Considering the vary of cases Judges will proceed, implementation of prae judicieel geschil should be examined case by case and supported by coordiations of the involving Judges.