ABSTRAKDisertasi ini merupakan studi tentang peran organisasi Barisan Merah Putih dalam memperjuangkan salah satu kebijakan afirmasi, yang diamanatkan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Pembahasan terutama difokuskan pada perjuangan Barisan Merah Putih terhadap kuota tambahan satu perempat anggota DPR-Papua bagi orang asli Papua pada pemilu 2009 dan 2014. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji: 1 kepentingan Barisan Merah Putih dalam memperjuangkan kuota anggota DPRP bagi orang asli Papua; 2 strategi Barisan Merah Putih dalam memperjuangkan kuota anggota DPRP bagi orang asli Papua, baik pada pemilu 2009 maupun pemilu 2014; 3 faktor-faktor yang menyebabkan kuota anggota DPRP bagi orang asli Papua sulit direalisasikan.Teori utama yang digunakan sebagai kerangka analisis adalah: teori kelompok kepentingan dari Gabriel A. Almond, Janda, Berry dan Golman. Teori negara korporatis dari Malloy dan Anna Batta serta teori negara neopatrimonial dari James C. Scot. Sedangkan teori pendukung adalah: 1 teori hubungan pusat ndash;daerah desentralisasi dari Brian C. Smith; 2 teori etnisitas dari Dwight Vick, Max Weber dan Fredik Barth; 3 teori konflik politik dari Maswadi Rauf.Metode penelitian terdiri dari: pendekatan kualitatif, dan studi kasus. Data primer yang digunakan diperoleh dari wawancara mendalam in-depth interview kepada sejumlah narasumber. Sedangkan data sekunder diperoleh dari kajian pustaka dan dokumen.Hasil penelitian menyimpulkan, bahwa: 1 peran organisasi BMP, dilatarbelakangi oleh kepentingan: masyarakat adat Papua, kepentingan negara, dan kekuasaan. 2 lobi lobby , menjadi cara utama yang digunakan BMP; 3 hambatan direalisasikan kursi afirmasi ini, disebabkan rendahnya political will dari elit politik serta adanya pro-kontra antara aktor.Temuan studi ini, menunjukkan bahwa perjuangan yang dilakukan BMP Papua tidak semata mempengaruhi keputusan politik, tapi juga ingin memperoleh kekuasaan. Di sisi lain, dalam mempengaruhi direalisasinya kursi afirmasi ini, BMP Papua cukup menghindari tindakan mobilisasi massa dan kekerasan.Implikasi dari teori utama, yaitu: teori kelompok kepentingan yang menjelaskan, bahwa kelompok kepentingan, hanya mempengaruhi kebijakan politik tanpa berkehendak memperoleh jabatan politik, perlu dilihat kembali, sebab studi ini menemukan bahwa BMP selaku kelompok kepentingan memiliki tendensi kuat untuk berkuasa. Sedangkan teori negara korporatis dan neopatrimonial, meskipun lebih tepat menjelaskan politik di negara otoriter, namun dalam kasus tertentu, bagi negara demokrasi, teori ini masih relevan digunakan sebagai kerangka analisis.
ABSTRACTThis dissertation is a study on the organizational role of Barisan Merah Putih BMP in defending one of the affirmative policies that is mandated in the Special Autonomy Law in Papua. Accentuated in this study is BMP rsquo s fight for theaddition of one fourth of the indigenous Papuans rsquo quota, or number of seats, in the legislative body during the 2009 and 2014 elections. This research discusses three important matters 1 the role of BMP in defending the quota for indigenous Papuans in the legislative body 2 BMP rsquo s strategy in defending the quota during both the 2009 and 2014 elections and 3 the factors that causedthe addition of one fourth of the indigenous Papuans difficult to be realized. The main theories that are used as the analytical framework of this dissertation are the theory of advocacy groups by Gabriel A. Almond, Janda, Berry dan Golman, the theory of corporate state by Malloy and Anna Batta, and the theory of state neopatrimonialism by James C. Scott. In addition, the theory of decentralization by Brian C. Smith, the theory of ethnicity by Dwight Vick, Max Weber, and Fredik Barth, as well as the theory of political conflict by MaswadiRauf are used as the supporting theories. This research uses a qualitative approach and case study. The primary data is collected through in depth interviews with several sources, while the secondary data is attained through various literary sources and documents. The result of this research leads to three conclusions. First, the organizational role of BMP is based on the interest of the indigenous people of Papua, the state, and power. Second, lobbying became BMP rsquo s main strategy. Third, low political will of the political elite and pro contra between the actors results in the obstacle to realize the addition of the indigenous people rsquo s number of seats in the People rsquo s Representative Council. The principal findings of this research show that BMP rsquo s fight for Papua is not only for the purpose of gaining a voice in political decisions, but also for the purpose of gaining power. On the other hand, BMP avoids mass mobilization and conflict in its fight for the addition of the number of seats. The theoretical implication of the main theory, which is the theory of advocacy groups that explains advocacy groups only influence political policies without the desire to gain political standing, while BMP has a tendency to gain authority and power. The theory of corporate state and the theory of state neopatrimonialism as supporting theories, explains the political in authoritarian countries, but in this case, in democratic countries. This theory is still relevant to be used as an analytical framework for this dissertation.