UI - Disertasi Membership :: Kembali

UI - Disertasi Membership :: Kembali

Gerakan perlawanan rakyat Cirebon 1802-1818 = The Ressistance movement of Cirebonese people from 1802 to 1818

A. Syatori; Maria Immaculatus Djoko Marihandono, promotor; Saleh A. Djamhari, co-promotor; Abdurakhman, examiner; Agus Mulyana, examiner; Mohammad Iskandar, examiner; Bondan Kanumoyoso, examiner; Yon Machmudi, examiner (Universitas Indonesia, 2017)

 Abstrak

Penelitian ini adalah kajian tentang gerakan perlawanan rakyat Cirebon 1802-1818. Setelah dilakukan kajian secara mendalam, penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa gerakan perlawanan rakyat Cirebon ini terjadi dalam empat periode selama rentang waktu 16 tahun mulai 1802 hingga 1818. Periode pertama terjadi pada 1802. Tokoh utama gerakan ini adalah Bagus Sidong, Bagus Arisim, Bagus Suwasa, dan Bagus Rangin. Periode kedua terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels. Tokoh utama gerakan perlawanan pada periode ini masih sama dengan periode sebelumnya, yakni Bagus Rangin yang menolak untuk berunding. Periode ketiga terjadi pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Pada periode ini, gerakan perlawanan masih dipimpin oleh tokoh yang sama, Bagus Rangin. Periode keempat gerakan perlawanan terjadi pada 1816-1818. Periode gerakan perlawanan ini terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama pada 1816-1817 dan tahap kedua pada 1818. Perlawanan tahap kedua juga terjadi dalam dua fase, pada Januari-Februari 1818 dan Juli-Agustus 1818. Gerakan perlawanan 1816-1817 bermula di Keresidenan Krawang. Tokoh utama gerakan perlawanan ini adalah Bagus Jabin, putera Bagus Sanda, pamannya Bagus Rangin. Selain Bagus Jabin, tokoh lainnya adalah Bagus Bulun, pamannya, Bagus Urang, kakenya, dan beberapa anggota keluarganya yang lain seperti Bagus Wangsa, Bagus Asidin, Bagus Brata, Candra Wijaya dan Talok. Semuanya adalah saudara atau saudara tiri Bagus Jabin. Sebab-sebab yang melatar belakangi gerakan perlawanan ini berbeda-beda pada setiap fase. Akan tetapi, perbedaan latar belakang itu bisa ditarik benang merah bahwa semuanya disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial yang diambil pada setiap periode terjadinya peristiwa. Pada periode pertama, sebab utama terjadinya pergolakan adalah karena kebijakan pemerintah yang mencampuri urusan internal keraton Cirebon dalam suksesi pergantian Sultan. Selain itu, faktor lain yang tidak kalah penting adalah karena kebijakan pemerintah terkait persewaan desa yang melibatkan orang-orang Cina, yang pada akhirnya memberatkan dan menyengsarakan rakyat. Pada periode kedua, latar belakang terjadinya pergolakan juga disebabkan karena Daendels belum memenuhi tuntutan rakyat. Sementara itu, latar belakang terjadinya pergolakan pada periode ketiga, terutama karena berbagai kebijakan Raffles yang menekan dan beban berat yang dirasakan oleh rakyat, terutama kebijakan tentang penjualan tanah, pemborongan/persewaan monopoli, dan kerja wajib. Sebab utama gerakan perlawanan pada periode keempat juga sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang berakhir dengan perlakukan yang dialami penduduk baik di tanah pemerintah maupun di tanah partikelir, sehubungan dengan kerja wajib dan penyetoran wajib yang dipungut dari mereka. Pemerintah masih membiarkan praktek-praktek lama orang Cina berupa persewaan desa-desa Sultan dan penjualan kredit terhadap penduduk. Di Indramayu dan Karawang para pemilik tanah-tanah partikelir menuntut hasil panen yang melebihi kemampuan penduduk, bahkan dituntut melakukan kerja wajib tanpa upah. Kata Kunci: Gerakan perlawanan, rakyat Cirebon. Bagus Rangin, Bagus Jabin, Bagus Serrit, Bantarjati, Kedongdong.

This study considers about the Ressistance Movement of Cirebonese People from 1802 to 1818. After considering deeply, this study has been concluded that this movement happened in four periods it had been six teen years from 1802 to 1818. The first period happened in 1802. The main actors of this movement were Bagus Sidong, Bagus Arisim, Bagus Suwasa, and Bagus Rangin. The second period happened when General Governor Daendels administered Cirebon. The main actors were actually the same as the previous period, Bagus Rangin. He definitely refused to confer with. The next period happened when Cirebon was administrating by Sir Thomas Stamford Raffles. In this period, Bagus Rangin still leaded the movement. The last period was from 1816 to 1818. However, this ressistance movement is divided into two phases the first phase was from 1816 to 1617 and the second phases was in 1818. In the second phase, the movement is divided into two stages the first stage was on January ndash February in 1818, and the second stage was on July ndash August 1818. This last movement had begun in Keresidenan Krawang. The main actors on this movement were Bagus Jabin, the son of Bagus Sanda, Bagus Rangin rsquo s uncle. Besides Bagus Jabin, the other ones were Bagus Bulun and his uncle, Bagus Urang and his grandfather and other members of family Bagus Wangsa, Bagus Asidin, Bagus Brata, Candra Wijaya and Talok. All of them were brothers and brothers in law of Bagus Jabin. The grounded causes of these ressistance movements were actually different in every single phase. However, the different background can be considered that, all these movements were caused of the colonial policy taken in every single period of evidence. In the first period, the main causes happened when the colonial policy officiously meddled with internal business of Cirebon Palace in taking role of changing Sultan. The other significant problem was caused of the policy related to hiring villages which involved Chinese people, in which eventually, burdened native people. In the second period, the problem grounded was caused of General Governor Daendels un filled the native people in need. Meanwhile, in the next period, the problem grounded was caused of the policy taken by Raffles, in which pressing upon the people. Particularly, the policy about land selling, monopoly hiring, and obligatory working. The main problem of the last movement was also related to the government policy, in which finally the treatments suffered by the people, even in government or private territory, in relation to obligatory working and paying taken from them. The government still allowed the old schools practiced by Chinese people, as hiring Sultan rsquo s villages, and selling lands on credit to them. In Indramayu and Karawang, the owners of private lands demanded harvest over the capability, even obligated working without commission.

 File Digital: 1

Shelf
 D1703-A Syatori.pdf :: Unduh

LOGIN required

 Metadata

Jenis Koleksi : UI - Disertasi Membership
No. Panggil : D1703
Entri utama-Nama orang :
Entri tambahan-Nama orang :
Entri tambahan-Nama badan :
Program Studi :
Subjek :
Penerbitan : Depok: Universitas Indonesia, 2017
Bahasa : ind
Sumber Pengatalogan : LibUI ind rda
Tipe Konten : text
Tipe Media : unmediated ; computer
Tipe Carrier : volume ; online resource
Deskripsi Fisik : xix, 247 pages: illustration ; 28 cm + appendix
Naskah Ringkas :
Lembaga Pemilik : Universitas Indonesia
Lokasi : Perpustakaan UI, Lantai 3
  • Ketersediaan
  • Ulasan
  • Sampul
No. Panggil No. Barkod Ketersediaan
D1703 07-19-917252075 TERSEDIA
Ulasan:
Tidak ada ulasan pada koleksi ini: 20446750
Cover