Perdebatan tentang multikulturalisme di Indonesia dipicu oleh kecanggungan teori-teori kebudayaan menghadapi munculnya ledakan ruang publik dengan berbagai macam artikulasi kepentingan etnis, religius, dan sejarah. Oleh karena itu, perbincangan tentang multikulturalisme di Indonesia tak dapat dilepaskan dari percakapan dan perdebatan yang berkembang sejalan dengan makin beragamnya ruang-ruang publik di Indonesia. Dengan kata lain, multikulturalisme sebenarnya harus dilihat sebagai sebuah proses yang terjadi pada ruang-ruang publik, bukan sekedar sebuah kondisi yang menentukan suatu, dan satu-satunya, ruang publik. Sebagai sebuah proses, multikulturalisme bersandar pada negosiasi antar berbagai macam praktik sosial (social practices); sebuah proses politik kebudayaan yang tak selalu-bagi saya, justru tak mungkin-menghasilkan sebuah ruang publik homogeny dan setara seperti yang dibayangkan oleh Will Kymlicka. Berangkat dari pandangan tersebut di atas, tulisan ini mencoba menguraikan satu bentuk praktik sosial yang seringkali dipakai sebagai sebuah wahana artikulasi kepentingan etnis dan religius akhir-akhir ini. Praktik tersebut adalah penuturan kisah (story telling). Takseperti pendekatan konvensional dalam antropologi yang melihat kisah/cerita (story) sebagai wadah simbol dan struktur (a symbolic and structural repository), tulisan ini akan memperlakukan cerita sebagai sebuah media material yang dipakai oleh berbagai aktor sosial untuk meramaikan perdebatan politik kebudayaan dalam bermacam-macam ruang publik. Di pihak lain, sering kali cerita juga menjadi wahana untuk mengartikulasikan, atau membentuk, ruang publik itu sendiri. Secara etnografis, paper ini akan membicarakan sebuah tipe cerita, yaitu narasi tentang kekerasan, lebih khusus lagi yaitu narasi tentang kerusuhan yang pernah meledak di Jakarta. Diharapkan kajian etnografis ini dapat memberikan sebuah contoh tentang kompleksitas yang ada dalam pengertian multikulturalisme sebagai sebuah proses politik (multi) kultural, dan tentang perlunya etnografi mengambil jarak kritis terhadap pandangan multikulturalisme yang sekedar bersandarkan pada bentukan (form) etnisitas dan religious.