Konflik-konflik berdarah yang menyertai Indonesia setelah jatuhnya Orde Baru cenderung terjadi di Indonesia bagian Timur, dengan pengecualian daerah Aceh. Saat ini banyak analisis akademis, baik dalam bahasa Indonesia maupun Inggris yang telah mulai menguraikan aspek-aspek politis, sosial dan diskursif dari konflik-konflik di Timor Timur, Maluku, Maluku Utara, Poso, Kalimantan dan Papua. Penelitian-penelitian ini telah mulai meninggalkan penelaahan-penelaahan yang terlalu sederhana dan kerap sarat bias yang muncul segera setelah terjadinya konflik. Penelitian-penelitian tersebut mulai memberikan gambaran tentang konteks etnografis yang lengkap dan lebih rumit dari 'perang di Indonesia bagian Timur'. Gambaran ini memperlihatkan tercampur baurnya provokasi politik, ketegangan ekonomi, provokasi diskursif, dan adaptasi buletin lokal terhadap bentuk-bentuk identifikasi berdasarkan agama suku bangsa yang memberikan dorongan dan motif berbeda untuk ikut serta dalam setiap kerusuhan individual yang bergejolak di berbagai wilayah Indonesia Timur setelah tahun 1999. Walaupun setiap bentrokan/pertikaian (bahkan dalam satu wilayah konflik seperti Maluku atau Poso) seringkali bersifat unik secara politis dan pengalaman, mereka saling mempengaruhi satu sama lain. Setiap kerusuhan memupuk berkembangnya perasaan paranoia nasional yang disebarluaskan oleh media. Dalam prosesnya,setiap pertikaian/bentrokan menaburkan bibit-bibit kekerasan di tempat lainnya.